Diringkas dari kitab Hadzihi Nashiihati Ilaa Kulli Syi’I, karya Syaikh Abu Bakar al-Jazairi hafidzohulloh Ta’ala oleh Abu Ahmad Fuad Hamzah Baraba, Lc.
Para pembaca sekalian berikut ini adalah ringkasan nasihat yang disampaikan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi hafidzohulloh Ta’ala dalam kitab beliau yang berjudul Hadzihi Nashiihati Ilaa Kulli Syi’i. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
HADIAH
Untuk setiap orang Syi’ah yang hati dan pikirannya merdeka, mencintai kebenaran dan kebaikan, menginginkan ilmu dan pengetahuan. Saya persembahkan kalimat singkat ini, dengan harapan mau membacanya, dengan meyakini bahwa saya sedang menyampaikan sebuah nasihat kepadanya, sebagaimana saya meyakini demikian.
PENDAHULUAN
Dengan menyebut nama Alloh, segala puji hanya bagiNya, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rosululloh, Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabat beliau.
Wa ba’du; Sebelumnya, terus terang saja, yang saya tahu tentang Syi’ah ahlu bait hanyalah sekelompok umat Islam yang berlebih-lebihan dalam mencintai ahlu bait dan mendukung ahlu bait, menyelisihi Ahlus Sunnah dalam sebagian cabang-cabang syari’ah berdasarkan takwil yang dekat atau jauh. Karena itu saya sangat marah bahkan merasakan sakit hati, ketika ada sebagian saudara menyebut orang-orang Syi’ah sebagai orang fasik, bahkan terkadang menuduh mereka keluar dari Islam. Namun perasaan saya ini tidak bertahan lama setelah seorang saudara menyarankan kepada saya untuk mengkaji buku-buku Syi’ah untuk bisa mendapatkan keterangan yang jelas mengenai mereka. Akhirnya kupilih kitab al-Kafi, pedoman mereka dalam beragama. Dan sayapun menelaahnya, akhirnya saya mendapati kenyataan-kenyataan yang membuat saya harus memaafkan orang yang menyalahkan saya karena sikap santun saya terhadap orang-orang Syi’ah, dan melarang saya untuk berkompromi dengan mereka karena saya berharap akan bisa menghilangkan pertentangan yang memang selama ini ada di antara Ahlus Sunnah dengan kelompok yang mengaku beragama Islam ini.
Di bawah ini saya sebutkan beberapa kenyataan ilmiah yang disarikan dari buku pegangan terpenting orang-orang Syi’ah dalam menetapkan aliran mereka. Saya berharap setiap orang Syi’ah sudi memperhatikan ini dengan penuh keikhlasan dan obyektivitas, baru setelah itu menarik kesimpulan tentang madzhabnya dan keyakinannya terhadap madzhab tersebut. Jika kesimpulan berujung pada benarnya madzhab dan sahnya memeluk madzhab tersebut (Syi’ah), maka setiap orang Syi’ah silakan tetap memeluk madzhabnya. Namun bila kesimpulan berakhir pada sesat, rusak serta buruknya menganut madzhab tersebut, maka wajib atas setiap orang Syi’ah –sebagai nasihat dan deni menyelamatkan dirinya- untuk (kembali) meninggalkan dan berlepas diri darinya, untuk memegang teguh al-Qur’an dan sunnah Rosululloh shollallohu ‘alahi wa sallam yang dianut oleh jutaan umat Islam lainnya.
Saya berlindung kepada Alloh Ta’ala dari seorang muslim yang telah jelas kepadanya kebenaran, namun ia tetap terus menerus mempertahankan kebatilan yang dianutnya, karena sikap jumud dan taklid buta, fanatisme golongan, atau mempertahankan keuntungan duniawi, sehingga ia tetap hidup dengan menipu dirinya sendiri, menempuh jalan kemunafikan dan kepalsuan, sehingga menyesatkan anak-anaknya, saudara-saudaranya, dan generasi yang datang sesudahnya, menyelewengkan mereka dari kebenaran dengan kebatilan yang tetap dianutnya, menjauhkan mereka dari sunnah dengan bid’ah yang dilakukannya, dan menjauhkan dari Islam yang benar dengan madzhab yang keji.
Saya berdoa semoga Alloh Ta’ala menunjukkan kebenaran kepada Anda, membantumu untuk menganutnya dan member kekuatan kepada Anda untuk melaksanakannya.
Sesungguhnya tiada Ilah yang berhak untuk disembah selain Alloh Ta’ala, dan tiada Yang Maha Berkuasa selain dariNya.
HAKIKAT PERTAMA
Dengan menyebut nama Alloh, segala puji bagiNya, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rosululloh, Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabat beliau.
Sesungguhnya yang menetapkan kenyataan ini menegaskan dan mewajibkannya untuk Anda, wahai orang Syi’ah, adalah ucapan penulis buku al-Kaafi yang menyebutkan dalam Bab I: Sesungguhnya para imam ‘alaihimus salam mempunyai seluruh kitab-kitab suci yang diturunkan dari Alloh Ta’ala. Mereka mengerti semua kitab itu sekalipun bahasanya berbeda-beda. Penulis menyebutkan dalilnya yaitu dua hadits yang bersambung sampai Abu Abdillah bahwasanya ia membaca Injil, Taurat, dan Zabur dengan bahasa Siryani.
Maksud pengarang al-Kaafi dari ucapannya ini sudah jelas, bahwa ahlul bait dan Syi’ah mereka adalah pengikut para imam ‘alaihimus salam, tidak perlu lagi kepada al-Qur’an, karena mereka mempunyai pengetahuan tentang kitab-kitab suci umat-umat terdahulu. Ini merupakan langkah besar dalam memisahkan Syi’ah dari Islam dan kaum muslimin, karena tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang meyakini tidak membutuhkan al-Qur’an dari segi manapun berarti telah keluar dari agama Islam dan lepas dari jama’ah kaum muslimin.
Bukankah mempelajari kitab-kitab yang telah diselewengkan dan dimansukh , menaruh perhatian besar terhadapnya, dan mengamalkan isinya, merupakan bukti kebencian kepada al-Qur’an yang menyatukan umat Islam dengan akidah, hukum-hukum, dan adab-adabnya sehingga menjadi satu umat?
Bukankah benci terhadap al-Qur’an merupakan salah satu bentuk murtad dari agama Islam?
Bagaimana boleh membaca kitab-kitab suci yang telah diselewengkan dan dimansukh,sementara ketika sahabat Umar memegang sebuah lembaran Taurat saja Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dengan keras seraya mengatakan, “Bukankah aku datang kepada kalian dengan al-Qur’an yang suci!” Jika Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak senang ketika mengetahui sahabat Umar melihat selembar isi Taurat, apakah masuk akal bila salah seorang dari kalangan ahlul bait mengumpulkan kitab-kitab suci terdahulu, menerima, dan mempelajarinya dengan bahasanya yang bermacam-macam, kenapa? Karena membutuhkan ataukah karena ada tujuan tertentu? Demi Alloh, jelas bukan untuk ini dan itu, melainkan hal ini pasti kebohongan para pengikut batil atas diri keluarga Rosululloh, untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin.
Terakhir kali, yang perlu diketahui oleh setiap orang Syi’ah bahwa meyakini tidak membutuhkan al-Qur’an, kitab Alloh Ta’ala yang dijagaNya dengan dihapal dalam hati kaum muslimin, tidak berkurang dan tidak bertambah meski satu katapun, dan hal itu tidak akan terjadi selamanya. Karena Alloh Ta’ala telah berjanji akan menjaganya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)
Hendaknya setiap orang Syi’ah mengetahui bahwa keyakinan tidak membutuhkan kepada al-Qur’an, atau kepada sebagian dari al-Qur’an dalam keadaan apapun, berarti telah murtad dari Islam, pelakunya tidak boleh lagi mengaku sebagai orang Islam dan bagian dari kaum muslimin.
HAKIKAT KEDUA
Keyakinan bahwa al-Qur’an tidak dikumpulkan dan dihapal oleh seorang sahabatpun, hanya Ali dan para imam ahlul bait semata yang menghapalnya. Keyakinan ini dinyatakan dengan tegas oleh pengarang al-Kaafi berdalil dengan perkataannya dari Jabir ia berkata, “Saya mendengar Abu Ja’far ‘alaihis salam berkata, ‘Tidak ada seorang manusiapun yang mengaku ia telah menghapal seluruh al-Qur’an kecuali ia adalah seorang pendusta. Tiada seorangpun yang mengumpulkan dan menghapalnya sebagaimana saat turun, kecuali Ali bin Abi Tholib dan para imam sesudahnya’.”
Sekarang, ketahuilah wahai orang Syi’ah –semoga Alloh Ta’ala menunjukkan Anda dan saya kepada agama yang benar dan jalan yang lurus- , bahwa keyakinan seperti ini yaitu meyakini tidak ada kaum muslimin yang mengumpulkan dan menghapal al-Qur’an selain para imam ahlul bait, keyakinan ini adalah keyakinan yang batil. Tujuan dari pembuat keyakinan ini adalah mengkafirkan kaum muslimin selain ahlul bait dan pendukung mereka. Cukuplah hal ini sebagai sebuah kerusakan, kebatilan dan kejahatan. Na’udzu billah Ta’ala. Perhatikanlah penjelasan berikut.
- Ini berarti tuduhan dusta bagi setiap orang yang mengaku menghapal al-Qur’an atau mengumpulkannya dalam sebuah mushaf, seperti Utsman bin Affan, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud ‘ dan ratusan sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam lainnya. Menuduh para sahabat sebagai para pendusta berarti telah menuduh mereka fasik dan menganggap ‘adaalah (keadilan) mereka telah gugur. Ini jelas tidak akan dikatakan oleh ahlul bait. Yang mengatakan hal seperti ini hanyalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin, demi membuat fitnah dan perpecahan.
- Keyakinan ini berarti menganggap kaum muslimin sesat, kecuali Syi’ah ahlul bait. Karena orang hanya beramal dengan sebagian al-Qur’an, tidak diragukan lagi telah kafir dan tersesat, karena ia tidak beribadah kepada Alloh Ta’ala sesuai yang disyariatkan oleh Alloh Ta’ala, karena boleh jadi sebagian al-Qur’an yang belum dikumpulkan oleh kaum muslimin itu memuat masalah akidah, ibadah, adab, dan hukum-hukum.
- Konsekuensi dari keyakinan ini adalah menganggap dusta firman Alloh Ta’ala , mendustakan Alloh Ta’ala jelas sebuah kekufuran.
- Mungkinkah al-Qur’an hanya diketahui oleh ahlul bait dan pengikut mereka saja ?! Bukankah ini berarti memonopoli dan merampas rahmat Alloh Ta’ala, dan seharusnya ahlul bait Nabi mustahil seperti itu? Ya Alloh, sesungguhnya kami benar-benar mengetahui bahwa Ahlul Bait RosulMu berlepas diri dari kedustaan ini. Maka, laknatlah orang yang berdusta dan berbohong atas nama mereka !
- Konsekuensi dan keyakinan ini, hanya kelompok Syi’ah semata yang berada di atas kebenaran dan menegakkan kebenaran. Karena hanya merekalah yang mempunyai al-Qur’an secara lengkap, sehingga mereka bisa beribadah sesuai dengan cara yang disyariatkan oleh Alloh Ta’ala. Adapun kaum muslimin selain mereka adalah sesat, karena tidak mendapatkan bagian dari al-Qur’an dan petunjuk al-Qur’an.
Wahai orang Syi’ah, kedustaan seperti ini tidak akan dilakukan oleh orang yang berakal sehat, apalagi oleh orang yang mengaku beragama Islam dan bagian dari kaum muslimin. Peran ahlul bait dalam mengumpulkan dan menghapal al-Qur’an tak jauh berbeda dengan peran kaum muslimin lainnya, maka bagaimana bisa dikatakan tidak ada yang menghimpun dan menghapal al-Qur’an selain ahlul bait, dan bagaimana mungkin dikatakan, barangsiapa yang mengaku menghimpun atau menghapal al-Qur’an berarti ia seorang pendusta!
HAKIKAT KETIGA
Ahlul bait dan Syi’ah menguasai mukjizat para Nabi. Hal ini ditegaskan oleh pengarang al-Kaafi dengan perkataannya: dari Abu Basir dari Abu Ja’far ‘alaihis salam, ia berkata: Amirul Mukminin ‘alaihis salam keluar pada suatu malam yang gelap gulita lantas berkata, “Urusan penting, urusan penting, sedang malam gelap gulita. Imam keluar keluar kepada kalian dengan baju Nabi Adam, di tangannya ada cincin Nabi Sulaiman, dan tongkat Nabi Musa.” Pengarang al-Kaafi juga menyebutkan dari Abu Hamzah dari Abu Abdillah ‘alaihis salamberkata: Saya mendengarnya mengatakan, “Kami mempunyai lembaran-lembaran wahyu Nabi Musa, kami mempunyai tongkat Nabi Musa dan kamilah pewaris para Nabi.” Wahai Syi’ah, keyakinan ini menuntut Anda (orang-orang Syi’ah) beberapa konsekuensi yang sangat rusak dan keji. Anda dan setiap orang yang masih waras tidak mempunyai pilihan selain untuk berlepas diri dan tidak mengakuinya.
HAKIKAT KEEMPAT
Keyakinan bahwa ahlul bait dan Syi’ah mempunyai ilmu-ilmu kenabian dan ketuhanan. Keyakinan ini bersumber dari apa yang disebutkan oleh pengarang kitab al-Kaafi dengan perkataannya: dari Abu Bashir berkata: Saya masuk kepada Abu Abdillah ‘alaihis salam.Saya mengatakan, “Sesungguhnya Syi’ah Anda menceritakan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam mengajarkan seribu bab ilmu dan darinya Ali bias membuka seribu bab ilmu.” Abu Abdillah mengatakan, “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan seribu bab, dengan masing-masing bab ia membuka seribu bab.” Saya katakana: Abu Abdillah melanjutkan, “Wahai Abu Abdillah, kami mempunyai al-Jami’ah. Tahukah mereka, apakah al-Jami’ah itu?” Saya balik bertanya, “Memangnya apa al-Jami’ah itu?” Ia menjawab, “Sebuah lembaran yang panjangnya tujuh puluh hasta dengan ukuran hasta Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Rosululloh mendiktekannya kepada Ali, sementara Ali menulisnya dengan tangan kanannya seluruh hal yang halal dan haram, juga setiap yang dibutuhkan oleh manusia sampai urusan kutu dan lalat.” Saya katakan, “Demi Alloh, ini sebuah ilmu.” Ia menjawab, “Ya, inilah ilmu.” Ia terdiam sesaat lalu berkata, “Kami juga mempunyai al-Jafr. Tahukah mereka, apakah al-Jafritu? Sebuah wadah dari kulit, di dalamnya ada ilmu para Nabi, washiy (wasiat) dan ulama terdahulu dari kalangan Bani Israil.” Saya katakan, “Ini sebuah ilmu.” Ia menjawab, “Ya, inilah ilmu.” Ia terdiam sesaat lalu kembali mengatakan, “Kami mempunyai mushaf Fathimah, tahukah mereka apakah mushaf Fathimah itu?” Saya bertanya, “Ya, apakah mushaf Fathimah itu?” Ia menjawab, “Sebuah mushaf, di dalamnya ada tiga kali lipat seperti al-Qur’an. Demi Alloh, dalam mushaf Fathimah tidak ada satu hurufpun dari isi al-Qur’an!” Saya katakan, “Demi Alloh, ini sebuah ilmu.” Ia menjawab, “Ya, memang ini sebuah ilmu.” Ia terdiam sesaat, lalu berkata, “Kami mempunyai ilmu tentang apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi hingga hari kiamat.”
Jelas, dari keyakinan rusak seperti ini, kesimpulannya tak lain adalah sebagai berikut.
- Merasa tidak butuh dengan al-Qur’an, ini merupakan kekafiran yang nyata.
- Meyakini bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ahlu bait dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan yang tidak beliau ajarkan kepada kaum muslimin lainnya. Ini adalah menuduh Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berkhianat, dan menuduh beliau berkhianat adalah kekafiran yang nyata yang tidak bias dibantah lagi.
- Menganggap Ali berdusta, di mana dalam riwayat yang shohih, ia mengatakan, “Rosululloh tidak mengkhususkan kami ahlul bait, dengan sesuatupun.” Menuduh sahabat Ali berdusta, hukumnya seperti menuduh orang lain berdusta, yaitu sebuah perbuatan haram.
- Berdusta atas nama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ini termasuk dosa yang paling besar dan paling keji di sisi Alloh Ta’ala. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidak sama dengan berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka.”
- Berdusta atas nama Fathimah, dengan menyatakan bahwa Fathimah mempunyai mushaf khusus yang isinya tiga kali lipat dari isi al-Qur’an, dan tidak satu hurufpun yang ada dalam mushaf Fathimah berasal dari al-Qur’an.
- Orang yang meyakini keyakinan ini, bukanlah seorang muslim dan tidak bisa dianggap bagian dari umat Islam, karena Syi’ah hidup dengan ilmu, pengetahuan, dan pedoman hidup yang berbeda sekali dengan umat Islam.
- Terakhir, pantaskah kedustaan dan kekejian seperti ini dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam, agama Alloh Ta’ala yang tidak akan menerima agama selainnya?
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS. Ali ‘Imron:85)
Karena itu, wahai orang Syi’ah, mari berdoa bersamaku agar kita semua selamat dari kesesatan ini, Ya Alloh, kami berlepas diri kepadaMu dari apa yang dilakukan oleh para pembohong yang berbohong atas namaMu, atas nama RosulMu dan Ahlul Bait RosulMu yang bersih. Kami berlepas diri kepadaMu dari para pembohong yang ingin menyesatkan hamba-hambaMu, merusak agamaMu dan memecah belah persatuan umat Nabi dan RosulMu Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.
HAKIKAT KELIMA
Meyakini bahwa Musa al-Kadzim telah menebus dosa orang-orang Syi’ah dengan dirinya. Pengarang al-Kaafi menyebutkan ini dengan mengatakan: Sesungguhnya Abu Hasan Musa al-Kadzim –yaitu imam ketujuh dari dua belas imam kaum Syi’ah- berkata: Alloh Azza wa Jalla murka kepada kaum Syi’ah, maka Alloh memberiku pilihan apakah diriku atau mereka. Maka aku menjaga mereka dengan diriku.
Sekarang, wahai orang Syi’ah, apa konsekuensi dari cerita yang mereka wajibkan kepadamu untuk meyakininya, setelah mereka mewajibkanmu untuk mengimani dan membenarkan isi lafadz-lafadznya? Bukankah Musa al-Kadzim rahimahullah Ta’ala rela dirinya dibunuh demi menebus dosa-dosa pengikutnya, agar Alloh mengampuni dosa mereka dan memasukkan mereka ke surge tanpa hisab?
Perhatikanlah wahai orang Syi’ah, semoga Alloh Ta’ala menunjukkanku dan Anda kepada keyakinan yang benar, ucapan dan perbuatan yang dicintai dan diridhaiNya. Perhatikanlah kedustaan ini, ucapan ini tidak lain adalah kedustaan karena sangat menyelisihi kebenaran, sangat jauh dari kenyataan dan kejujuran. Yang di antaranya:
- Berdusta atas nama Alloh dengan menyatakan bahwa Alloh Ta’ala mewahyukan kepada Musa al-Kadzim bahwa Alloh Ta’ala memurkai kaum Syi’ah, bahwa Alloh member pilihan kepadanya untuk memilih dirinya atau pengikutnya, maka ia menebus dosa-dosa pengikutnya dengan nyawanya. Ini jelas sebuah kedustaan atas nama AllohTa’ala. Alloh Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
Dan siapakah yang lebih zholim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Alloh. (QS. al-An’am: 93)
- Berdusta dengan mengatas namakan Musa al-Kandzim, padahal demi Alloh, Musa al-Kadzim berlepas diri dari kedustaan tersebut.
- Meyakini kenabian Musa al-Kadzim. Demi Alloh, Musa al-Kadzim rohimahulloh bukan Nabi dan bukan Rosul. Padahal sudah diketahui bahwa kaum muslimin telah sepakat, siapapun yang meyakini kenabian seseorang setelah wafatnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, berarti telah kafir, karena jelas-jelas mendustakan firman AllohTa’ala:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rosululloh dan penutup nabi. (QS. al-Ahzab: 40)
- Keyakinan Syi’ah sama dengan keyakinan Nasrani dalam urusan salib dan penebusan dosa. Orang-orang Nasrani meyakini bahwa Isa menebus dosa umat manusia dengan dirinya. Mereka meyakini bahwa Isa rela disalib demi menghapus dosa-dosa mereka dan sebagai penebus dari kemurkaan dan adzab Alloh Ta’ala. Orang Syi’ah juga meyakini hal serupa. Mereka meyakini bahwa Musa al-Kadzim diberi pilihan oleh AllohTa’ala antara pengikutnya dihancurkan atau dirinya dibunuh. Musa al-Kadzim rela dibunuh demi menebus kaum Syi’ah dari kemurkaan dan adzab Alloh Ta’ala. Jadi, akidah orang-orang Syi’ah dan Nasrani sama. Orang-orang Nasrani jelas mereka adalah orang-orang kafir berdasarkan nash al-Qur’an. Apakah orang Syi’ah rela bila diri mereka kafir setelah sebelumnya beriman?
HAKIKAT KEENAM
Meyakini bahwa para imam Syi’ah mempunyai kedudukan yang sama dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dalam hal kema’suman, wahyu, ketaatan dan lain-lain, kecuali dalam masalah istri. Apa yang halal untuk Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tidak halal untuk mereka.
Keyakinan yang menempatkan para imam Syi’ah sederajat dengan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam ini, disebutkan oleh pengarang al-Kaafi dari dua riwayat. Riwayat ini menegaskan bahwa Alloh Ta’ala telah mewajibkan manusia untuk mentaati para imam Syi’ah secara mutlak (ketaatan penuh tanpa batas), sebagaimana Alloh Ta’ala memerintahkan ketaatan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam. Riwayat ini juga menegaskan bahwa para imam Syi’ah menerima wahyu dan menerima berita dari langit pagi dan sore. Dengan demikian, mereka adalah para Nabi dan Rosul seperti Nabi dan Rosul lainnya, tidak ada bedanya sama sekali. Di mana meyakini ada seorang Nabi yang mendapat wahyu setelah wafatnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam adalah sebuah perbuatan murtad dan kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
SubhanAlloh, bagaimana orang Syi’ah yang tertipu ini bisa rela dengan akidah yang dibuat-buat seperti ini? Akidah yang wajib diyakininya sehingga mereka (Syi’ah) hidup sebagai orang kafir yang jauh dari agama Islam, dengan cara ia meyakini kebatilan ini karena menginginkan iman dan Islam serta meraih kemenangan dengan keduanya.
Ya Alloh, potonglah tangan-tangan para durjana pertama yang memotong mereka dariMu dan menyesatkan mereka dari jalanMu.
HAKIKAT KETUJUH
Keyakinan akan murtad dan kafirnya para sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam setelah wafatnya beliau, kecuali ahlul bait dan sedikit sekali dari kalangan sahabat, seperti Salman, ‘Amar, dan Bilal.
Keyakinan ini hamper-hampir disepakati oleh pembesar-pembesar Syi’ah, baik dari kalanganfuqoha (ahli fikih) maupun ulama mereka. Dan hal ini jelas-jelas disebutkan dalam kitab-kitab mereka, adapun apa yang tidak disebutkan secara jelas itu merupakan taqiyah(berpura-pura) yang wajib, menurut mereka.
Dalam kitab Roudhotul Kafi halaman 202: Dari Hanan dari ayahnya dari Abi Ja’far berkata, “Manusia murtad (keluar dari Islam) sepeninggal Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam kecuali tiga orang: mereka adalah al-Miqdad, Salman, dan Abu Dzar,” sebagaimana tercantum dalam tafsir ash-Shofi –kitab yang termasyhur dan termulia, dan paling mu’tabar (terkenal) di kalangan Syi’ah- terdapat riwayat-riwayat yang menguatkan keyakinan ini, bahwa para sahabat Rosululloh telah murtad setelah wafatnya beliau, kecuali ahlul bait dan sedikit sekali dari kalangan sahabat (yang tidak dikafirkan) seperti Salman, ‘Amar, dan Bilal rodhiyallohu ‘anhum.
Wahai Syi’ah, Apakah masuk akal, menghukumi kafir dan murtadnya para sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam? Padahal mereka adalah pendukung dan penolong agamanya, dan pembawa syariatnya, rodhiyallohu ‘anhum. Di mana Alloh menjaga agama ini dengan sebab keberadaan mereka.
Katakan wahai Syi’ah, bahwa dibalik semua itu ada maksud dan tujuan yang tersembunyi (?). Yaitu ingin menghapuskan Islam dan menghilangkannya dari muka bumi ini.
Dan terakhir, nasihat ini betul-betul tulus demi ukhuwah Islamiyah dan kewajiban untuk menasihati untuk Alloh, kitabNya, dan RosulNya serta para pemimpin kaum muslimin dan orang awamnya. Inilah yang mendorongku untuk memberikan nasihat ini dengan harapan kepada Alloh Ta’ala agar melapangkan dadamu, dan memberikan hidayah menuju kebahagiaan dunia dan akhiratmu.
Kesejahteraan mudah-mudahan dilimpahkan kepada para Rosul, dan segala puji hanya bagi Alloh semesta alam.
Majalah Adz Dzakhiirah Vol. 8 No. 12 Edisi 66 1432 / 2010