9). Sesungguhnya kemampuan laki-laki untuk menurunkan keturunan (produktifitas) lebih besar daripada kemampuan wanita. Laki-laki dapat menurunkan anak hingga usia enam puluhan, bahkan kadang sampai pada usia seratus ia tetap masih segar dan mampu menurunkan anak.
Sedangkan kemampuan wanita rata-rata berhenti sampai usia empat puluhan atau lebih sedikit. Maka, mencegah poligami adalah perbuatan menghalangi ummat dari mempunyai keturunan.
10). Di dalam pernikahan dengan isteri kedua terdapat tenggang waktu bagi isteri pertama. Isteri mempunyai peluang waktu untuk sedikit beristirahat dari beban-beban tugas melayani suami, karena telah ada orang yang membantunya dan mengambil sebagian tugas melaksanakan beban melayani suami.
Maka dari itu, ada sebagian wanita-wanita yang berakal, apabila telah memasuki usia lanjut dan kurang mampu memberikan yang terbaik untuk suaminya mereka memberi isyarat agar suaminya menikah lagi.
11). Mencari pahala. Adakalanya seseorang menikah lagi dengan wanita miskin yang tidak mempunyai penanggung beban hidupnya, ia menikahinya dengan maksud untuk menyelamatkan kesucian dan memberikan perlindungan kepadanya, dengan harapan mendapat pahala dari Allah.
12). Sesungguhnya yang memperbolehkan berpoligami itu adalah Allah yang sudah barang tentu lebih mengetahui mashlahat-mashlahat hamba-hamba-Nya lagi lebih belas kasih terhadap mereka daripada mereka terhadap diri sendiri.
Dengan demikian jelaslah bagi kita hikmah Islam dan universalitas pandangannya di dalam memperbolehkan poligami dan sekaligus menjadi jelas pula kebodohan orang-orang yang mencela ajaran-ajaran Islam.
Di antara penghargaan Islam kepada para wanita muslimah, bahwasanya Islam menetapkan bagian khusus bagi wanita dari harta warisan. Maka seorang ibu mendapat bagian tertentu, isteri, puteri, dan saudara perempuan pun masing-masing mendapat bagian tertentu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab yang membahasnya.
Adalah merupakan kesempurnaan keadilan bahwasanya Islam menetapkan bagian untuk wanita adalah separuh dari bagian laki-laki dari harta warisan. Barangkali ada sebagian orang-orang yang picik akalnya mengira bahwa pembagian tersebut merupakan kezhaliman (tidak adil), dengan mengatakan, “Bagaimana bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan dari harta warisan? Kenapa bagian anak perempuan setengah dari bagian anak laki-laki?”
Jawabnya adalah: Bahwa sesungguhnya yang memberikan ketetapan demikian itu adalah Allah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui tentang maslahat-maslahat para hamba-Nya.
Kemudian di mana letak kezhalimannya?! Sungguh, sistem (hukum) Islam itu integral dan saling berkaitan. Maka bukan bagian dari keadilan bila hanya mengambil satu sistem atau satu ketetapan hukum (tasyri’) lalu memandangnya dari satu sudut tanpa mengaitkannya dengan bagian lainnya, akan tetapi seharusnya melihatnya dari berbagai sudut sehingga gambaran menjadi jelas dan keputusan menjadi lurus.
Hal yang menampakkan keadilan Islam di dalam masalah ini adalah bahwasanya Islam menjadikan nafkah isteri itu sebagai kewajiban suami dan demikian pula halnya mahar untuk isteri adalah kewajiban suami pula.
Sebagai contoh, kalau kiranya ada seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Maka anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian saudara perempuannya (2 banding 1), lalu masing-masing menikah. Pada saat menikah, anak laki-laki itu harus membayar mahar, menyediakan tempat tinggal, memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya sepanjang hayatnya.
Sedangkan saudara perempuan akan mendapat mahar dari suaminya dan tidak dituntut untuk memberikan sedikit pun dari harta miliknya untuk diserahkan kepada suami, atau menafkahi urusan rumah tangganya, atau pun kepada anak-anaknya. Maka, dengan demikian saudara perempuan dapat meng-himpun bagian dari harta warisan dari ayahnya dengan mahar yang ia peroleh dari suami, dan bersamaan dengan itu ia tidak dituntut untuk menafkahi diri dan anak-anaknya.
Jika demikian, tidaklah adil jika laki-laki mendapat bagian yang sama dengan anak perempuan.
Inilah kedudukan, harkat dan martabat wanita dalam Islam; lalu di mana nilai dan derajat sistem-sistem buatan yang ada di muka bumi dibanding sistem-sistem Islam yang samawi lagi adil. Sistem-sistem buatan yang ada di muka bumi ini tidak memperhatikan harkat dan martabat kaum wanita, di mana seorang ayah melepaskan diri dari anak perempuannya ketika mencapai usia delapan belas tahun atau kurang, agar sang putri keluar dengan nasib tiada menentu mencari tempat tinggal dan sesuap nasi untuk memenuhi rasa laparnya, yang terkadang hal itu sampai mengorbankan dan menjual kehormatan diri dan kemuliaan akhlak.
Bandingkanlah penghargaan Islam terhadap wanita yang telah menjadikannya sebagai manusia yang mulia dari pada sistem-sistem yang memandang wanita sebagai sumber kejahatan dan dosa, sistem yang telah merampas hak-haknya di dalam kepemilikan dan tanggung jawab dan menjadikan wanita hidup berlumur kehinaan dan kenistaan serta menganggapnya sebagai makhluk najis?! Dan mana bandingan penghargaan Islam kepada wanita daripada orang-orang yang menjadikan wanita sebagai barang dagangan yang memperjualbelikan jasadnya di dalam berbagai promosi bisnis dan iklan?!
Mana bandingan penghargaan Islam kepada wanita daripada sistem-sistem yang menganggap perkawinan sebagai transaksi jual-beli di mana isteri berpindah supaya menjadi salah satu dari harta kekayaan suami? Hingga sebagian pertemuan mereka yang diselenggarakan untuk mengkaji hakikat dan ruh wanita, apakah ia termasuk manusia atau bukan?
Demikianlah kita melihat bahwa wanita muslimah merasakan kebahagiaan di dunianya bersama keluarga, di bawah asuhan kedua orang tuanya, di bawah perlindungan suaminya dan balas budi anak-anaknya, apakah itu ketika ia di masa anak-anak, remaja atau di masa lanjut usia, dan di dalam kondisi fakir maupun kaya dan sehat maupun sakit.
Kalau terdapat kejanggalan dalam hak-hak wanita yang terdapat di sebagian negeri kaum muslimin, atau dari sebagian orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam, maka semua itu terjadi karena keteledoran dan kebodohan mereka serta karena jauh dari penerapan ajaran Islam. Kesalahan dan dosa ditanggung oleh orang yang bersalah, sedangkan Islam bersih dan bebas dari tanggung jawab kesalahan tersebut.
Penanggulangan kesalahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan kembali kepada petunjuk ajaran Islam, supaya kesalahan dapat terbenahi.
Inilah kedudukan, harkat dan martabat wanita di dalam Islam secara singkat; kesucian diri, perlindungan, kasih sayang, cinta dan perhatian serta berbagai macam nilai-nilai luhur lainnya.
Adapun peradaban sekarang hampir tidak mengenal sedikit pun dari nilai-nilai luhur tersebut, ia hanya memandang wanita dengan pandangan materialis murni. Peradaban modern memandang bahwasanya hijab wanita dan kesucian dirinya sebagai ketertinggalan dan keterbelakangan, dan bahwasanya wanita harus menjadi boneka yang dapat dipermainkan oleh setiap laki-laki ‘mata keranjang’, dan itulah rahasia kebahagiaan menurut mereka.
Mereka tidak menyadari bahwasanya tabarruj dan telanjangnya kaum wanita adalah sebab dari kesengsaraan dan siksaannya.
Karena jika tidak, lalu apa hubungan kemajuan dan pengajaran dengan tabarruj, penampakan anggota-anggota badan wanita yang penuh dengan fitnah, porno, pamer kecantikan, buka dada, paha dan hal yang lebih dahsyat dari itu?!
Apakah memakai pakaian transparan, tembus pandang dan pendek itu bagian dari alat-alat peraga pendidikan dan pengajaran??!
Kemudian, kemuliaan yang mana ketika foto-foto wanita-wanita cantik ditampilkan dalam iklan-iklan, pornografi dan berbagai promosi??!
Kenapa yang laris di kalangan mereka hanya wanita-wanita cantik saja? Lalu apabila kecantikan dan keindahannya itu sudah sirna mereka diabaikan dan dicampakkan bagaikan barang yang sudah kadaluwarsa!?
Lalu apa bagian-bagian wanita yang kurang cantik dari peradaban modern ini?! Apa bagian untuk ibu yang lanjut usia, nenek dan wanita-wanita jompo?!
Sesungguhnya bagian mereka yang paling baik (menurut peradaban modern) adalah ditempatkan di tempat-tempat penampungan dari panti-panti jompo di mana mereka di sana tidak dikunjungi dan tidak juga ditanya tentang keadaannya.
Memang ada di antaranya yang mendapat gaji pensiunan atau yang serupa dengannya yang mereka habiskan hingga tutup usia, tetapi di sana tidak ada hubungan silaturahim, tidak ada kerabat dekat, tidak pula teman setia.
Adapun wanita di dalam Islam, semakin lanjut usia mereka semakin dihormati, semakin besar pula hak mereka dan semakin berlomba-lomba anak-anak dan kerabat dekatnya untuk berbuat yang terbaik kepada mereka -sebagaimana dikemukakan di atas- karena mereka telah selesai melakukan tugasnya, dan yang tersisa adalah kewajiban anak-anak, cucu, keluarga dan masyarakat terhadap mereka.
Sedangkan tuduhan dan anggapan bahwa hijab dan menjaga kesucian diri itu sebagai tanda ketertinggalan dan keterbelakangan adalah tuduhan dan anggapan bathil lagi palsu. Sesungguhnya tabarruj dan pamer kecantikan itulah sebenarnya kesengsaraan dan adzab, dan itulah keterbelakangan yang sebenarnya.
Bila pembaca ingin dalilnya bahwa tabarruj dan pamer kecantikan adalah keterbelakangan, maka perhatikanlah dekadensi moral manusia yang tampak pada orang-orang hina bugil yang serba telanjang, mereka yang hidup di berbagai kenistaan yang mirip dengan keadaan hewan. Maka sesungguhnya mereka tidak berjalan menuju tangga-tangga kebudayaan dan peradaban kecuali sesudah mengenakan pakaian.
Orang yang memperhatikan dan mengikuti kondisi mereka di dalam kemajuannya dapat melihat bahwa sesungguhnya setiap kali mereka meraih suatu kemajuan di dalam peradaban, semakin bertambah pula prosentase wanita-wanita telanjang, sebagaimana yang tampak bahwasanya peradaban barat sedang berada di jalan menuju kehancurannya, mundur ke belakang selangkah demi selangkah, hingga berakhir pada telanjang bulat, di kota-kota orang-orang telanjang semakin luas sesudah perang dunia pertama. Kemudian penyakit itu makin dan bertambah serius di tahun-tahun terakhir ini.
Demikianlah menjadi lebih jelas bagi kita betapa keagungan kedudukan, harkat dan martabat wanita di dalam Islam adalah mulia dan terhormat.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Dinukil dari ath-Thariiq ilal Islaam oleh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, cet. I/Darul Wathan.
Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2372/slash/1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar