Senin, 15 November 2010

Bolehkah Jilbab Berwarna Kuning Atau Yang Lainnya?

jilbab
Pertanyaan :
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :
1.     Bolehkah wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?
2.     Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?
Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron
Jawab :
Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas. Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.
Pertanyaannya :
Sebagian wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang warnanya berbeda dengan warna ‘abaa’ah (jilbab bagian bawah-pent), terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari’atkan?, semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.
Jawaban beliau –hafidzohulloh- :
Segala puji bagi Allah Robbul ‘aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.
Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :
Pertama : khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya, sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah berfirman :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” (QS An-Nuur : 31)
Kedua : Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum wanita.
Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :
Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah –radhiallahu ‘anhaa- ia berkata
:« لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأكْسِيَةِ »
Tatkala turun firman Allah  (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada pakaian seperti burung-burung gagak” (HR Abu Dawud no 4101 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal 82)
Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.
Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata
« أُتي النبيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »
Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, “Menurut kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?”. Orang-orang pada diam, lalu Nabi berkata, “Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !”, maka didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan berkata, “Bajumu sudah usang, gantilah bajumu”. Pada kain tersebut ada garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485, Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517)
Adapun warna hijau untuk pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa’ah menceraikan istrinya maka istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata, وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها خُضرةً بجلدها..  “Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna kehijau-hijauan di kulitnya….” (HR Al-Bukhari no 5487)
Adapun pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang mu’ashfar. Maka Nabi berkata, “Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?”. Aku berkata, “Aku cuci kedua baju ini?”, Nabi berkata, “Bahkan bakarlah kedua baju itu” (HR Muslim no 5436)
Dan yang dimaksud dengan dua buah baju mu’ashfar adalah dua baju yang dicelup dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang sabda Nabi “Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?” : Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak mereka” (Syarh Shahih Muslim 14/55), beliau juga berkata : “Adapun perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita melepaskan onta tersebut…”
Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ، فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ لِلنِّسَاءِ »
“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 4066).
Adapun pakaian berwarna putih maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم
“Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih” (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal 82)
Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhumaa ia berkata
وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا
Adapun warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan pakaian dengan warna kuning” (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772, Ahmad no 5316). Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna kuning, bahkan sorban beliau juga” (HR Abu Dawud no 4064)
Hadits-hadits diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau, dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya, kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.
Dan perlu untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik perhatian) atau yang menyala(mengkilat) yang dipakai oleh para wanita pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa membangkitkan gejolak syahwat. Demikian juga halnya dengan warna-warna pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama’ah-jama’ah keagamaan, maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri jama’ah-jama’ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid’ah dalam agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada syirik mahabbah dan ta’dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang bukan pada tempatnya.
(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus Al-Jazaairi no 992)
Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?
Beliau –rahimahullah- menjawab :
“Seakan-akan penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh penduduk Arab Saudi-pent). Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai. Adapun jika pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang terlarang” (Fatwa Nuur “alaa Ad-Darb)
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 03 Dzul Qo’dah 1431 H / 11 Oktober 2010 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Sumber: Artikel: www.firanda.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar