Jumat, 25 Februari 2011

[Ebook] Hukum cadar antara yg mewajibkan dan yang tidak



Pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan olehummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.


Kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabishallallahu ‘alaihin wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
Ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.
Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup.
Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab.
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
Sumber: http://muslimah.or.id/fiqh-muslimah/hukum-cadar-kesimpulan-antara-2-pendapat-ulama-5.html





Wallahu'alam
Attachment: cadar.zip

Selasa, 22 Februari 2011

PENTINGNYA MUHASABAH DIRI


حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا 
oleh: Ari Mardiah Joban
v  Pernahkah kita menyendiri untuk menghisab segala perbuatan (baik perkataan maupun perbuatan kita)?!
v  Apakah kita pernah berusaha untuk menghitung-hitung kejelekan yang kita lakukan sebagaimana kita menghitung-hitung kebaikan?
v  Bahkan pernahkah kita merenungi ketaatan yang sering kita bangga-banggakan???
   kalau kita dapati semua itu dicampuri dengan riya dan sum’ah, bagaimana kita bersabar dengan kondisi seperti ini??!

       Jikalau seperti itu kondisinya, bagaimana kita menghadap Allah dengan membawa beban berat dosa?
   Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الذِّيْنَ امَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ¤ وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَهُمْ أَنْفُسَهُمْ( الحشر19-18 )
18.Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.19. dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، أَنَّهُ قَالَ فِي خُطْبَتِهِ(حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْل أَنْ تُوزَنُوا ، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ ، يَوْمَ تُعْرَضُونَ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَة)
      Umar bin Khattaab Radhiallahu ‘anhu berkata didalam khutbahnya: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (di hari kiamat), dan timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang (di hari kiamat), maka sesungguhnya hisab itu akan ringan bagi kalian jika kalian menghisabnya hari ini (di dunia). Begitu juga dengan hari 'aradl (penampakan amal) yang agung), Hari tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).


¨  Muhasabah (menginstrospeksi diri) itu ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
1.  Muhasabah sebelum beramal yaitu:hendaknya seseorang berhenti sejenak, merenung di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu. Tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya.
      Hasan al-Bashri berkata, "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berpikir di saat pertama ia ingin melakukan sesuatu. Jika itu karena Allah ia lanjutkan dan jika bukan karena-Nya ia menangguhkannya.

2. Muhasabah sesudah beramal itu ada tiga:

1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hak Allah subhanahu wa ta'ala. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan se
mena-mena, tidak semestinya.  Padahal hak Allah Subhanahu wata'ala berkaitan dengan satu bentuk ketaatan itu ada enam. Yaitu:
1)     ikhlas dan setia kepada Allah subhanahu wa ta'ala di dalamnya.
2)     mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa salam.
3)     menyaksikannya dengan persaksian ihsan.
4)     menyaksikannya sebagai anugerah Allah subhanahu wa ta'ala baginya
5)     menyaksikan kelalaian dirinya di dalam mengamalkannya.
6)     Demikian, ia harus melihat apakah dirinya telah memenuhi keseluruhannya?
2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.   
3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, karena apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap keridhaan Allah subhanahu wa ta'ala dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharapkan dunia sehingga ia merugi?
Bagaimana cara Muhasabah diri?
  1. Dimulai dari perkara yang wajib, apabila kita mendapati  adanya kekurangan kita menyempurnakannya.
  2.  Kemudian terhadap perkara yang dilarang, jika kita mendapati bahwa kita melakukan hal yang dilarang, maka hendaknya kita bertaubat, beristigfar dan berbuat baik.
  3. Menghisab diri dari hal – hal yang kita lalai mengerjakannya, kemudian kita berdzikir.
  4. Menghisab diri terhadap gerakan badan, (mata, lisan, kaki dll)

Keutamaan Muhasabah diri
  1. Mengetahui aib dirinya.
  2. Bertaubat  dan menyesali kesalahannya.
  3. Mengetahui hak Allah terhadapnya.
  4. Bersungguh-sungguh didalam ketaatan dan menjauh diri dari kemaksiaatan.
  5. Berahlak baik serta mengembalikan hak terhadap keluarganya.

عن أَبي هُرَيْرَةَ عَن النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:أ تَدْرُونَ مَن الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا يَا رَسُولَ الله مَن لَا لَهُ دِرْهَمَ وَلَا دِينَارَ وَلَا مَتَاعَ. قَالَ: الْمُفْلِسُ مِن أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَن يَأْتِي بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ, وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ عِرْضَ هَذَا, وَقَذَفَ هَذَا, وَأَكَلَ مَالَ هَذَا, وَضَرَبَ هَذَا, فَيُقْعَدُ, فَيَقْتَصُّ هَذَا مِن حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِن حَسَنَاتِهِ, فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِن خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
              Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu,  bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu? Sahabat menjawab, Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memilii perhiasan.Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga apabila pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dibebankan pada dirinya, lalu dia pun dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)

            Sepatut seorang muslim selalu muhasabah dirinya setiap hari bahkan setiap saat, bukan hanya pada akhir tahun atau pada event-event tertentu. Wallahu a'lam 

Senin, 21 Februari 2011

Siapakah penanggung jawab pendidikan?


Ust Abu Ammar al-Ghoyami dan Ust Abu Hafshoh al-Buthoni
Jawaban masalah ini sudah banyak diketahui. Bahwa setidak-tidaknya ada tiga kelompok yang bertanggung jawab dalam tarbiyah yaitu kedua orang tua, guru dan masyarakat. Orang tua sebagai asal mula seorang anak dan tempat berlindungnya setiap saat, guru sebagai tempat mengambil ilmu, dan masyarakat sebagai tempat bergaul. Jikalau ketiga kelompok ini masing-masing menunaikan tugasnya dengan baik, maka sungguh akan di dapatkan kebahagiaan bagi masyarakat Islam dunia dan akhirat.Misalnya orang tua mengarahkan dan memberi qudwah, guru mendidik dan memberi ilmu, sedangkan masyarakat mengawasi dan meluruskan, maka sungguh ini adalah sebaik-baik kerjasama di atas kebajikan dan taqwa.
Di antara tiga kelompok tersebut, tidak diragukan lagi bahwa yang paling bertanggung jawab dalam hal tarbiyah adalah orang tua (bapak ibu), oleh sebab itu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut mereka secara khusus dalam haditsnya:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ وَيُوْلَدُ عَلَى اْلِفطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Tidaklah seorang anak kecuali ia lahir dalam keadaan fithroh lalu bapak ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Dan fakta yang ada di lapangan tarbiyah-pun menunjukkan hal itu. Oleh sebab itu maka apabila seorang anak menyimpang karena pengaruh guru yang menyeleweng, maka orang tua tidak semata- mata menyalahkan guru karena mereka berhak mencari guru yang lain yang istiqomah. Atau apabila anak menyimpang karena pengaruh lingkungan maka tidak semata-mata menyalahkan lingkungan atau masyarakat, karena mereka berhak apabila menginginkan kebaikan buat anak-anak mereka untuk mencari lingkungan yang mendukung keistiqomahan mereka, karena sebagai muslim hidup di dunia bukan semata-mata untuk menjaga dan memelihara tanah tumpah darahnya akan tetapi untuk mewujudkan ubudiyyah(penghambaan) kepada Alloh subhanahu wata’ala di manapun ia berada. Gambaran kenyataan ini, akan kita dapatkan dari adanya pertikaian yang sering terjadi antara kedua orang tua, yaitu tatkala sang bapak melihat anaknya nakal maka dengan spontan menyalahkan ibu, dan sebaliknya ibu menyalahkan bapak, karena mereka saling mengharap kebaikan dalam tarbiyah. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُكُمْ رَاعٍ وَكُلُكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai tanggung jawab tentang kepemimpinan nya.”
Berkata Ummu Abdillah al-Wadi’i radhiyallahu anha dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’: “Harus adanya kerjasama antara kedua orang tua dalam mentarbiyah anak-anak mereka dan seandainya salah satu dari keduanya melalaikan tugasnya maka akan terjadi kekurangan pada sisi tersebut “.
Nah, oleh karenanya, semestinya para pentarbiyah ini bersatu padu, satu langkah, agar terlahir dari madrasah tarbiyah kita, para generasi yang benar-benar mengenal nilai-nilai tarbiyah, mengamalkan Islam dan memahaminya. Generasi yang memahami bahwa agama bukan hanya yang penting tidak keluar dari Islam dan masuk agama Nasrani atau agama-agama lainnya, namun generasi yang mempunyai kepedulian dan semangat baja untuk mempelajari Islam, berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at Islam, berilmu, beramal dan berdakwah. Generasi yang memperhatikan aqidah Islamiyyah, menegakkan sholat dan lain-lain, dan juga menaruh perhatiannya terhadap urusan keduniaan, kemajuan dan perkembangan zaman, tetapi tidak berlomba mengejar dunia semata dengan mengabaikan agama.
Semoga Alloh subhanahu wata’ala memberi taufiq kepada kita semua untuk bisa memahami makna dan pengertian tarbiyah dengan baik, mengamalkan, mendakwahkan dan sabar di atasnya, sehingga Alloh subhanahu wata’ala akan memberikan hasil tarbiyah yang baik lagi sempurna kepada kita dan generasi kita di masa mendatang. Amin.

Selasa, 15 Februari 2011

Jadilah Wanita Paling Mulia




Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan isyarat bahwa yang paling mulia diantara hamba-hamba-Nya adalah yang paling bertakwa kepada-Nya. Maka tiadalah suatu kemuliaan akan terwujud kecuali beriringan dengan ketakwaan
Harus ada pembeda untuk membedakan antara muslimah yang benar-benar bertakwa dan muslimah yang hanya mengaku bertakwa padahal dia tidak meniti jalan takwa, atau bahkan dia berada di jalan yang salah. Oleh karena itu -sebagai pembeda- penjelasan tentang sifat-sifat muslimah yang benar-benar bertakwa sangat diperlukan. Semoga sifat-sifat di bawah ini dapat mewakilinya:
1. Mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, akan mendorong seorang muslimah untuk senantiasa taat kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala- dan Rasul-Nya.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Cinta laksana sebuah pohon yang tumbuh di dalam hati. Akar akarnya adalah rasa rendah di hadapan Dzat yang dicintainya. Batangnya adalah mengenal-Nya. Rantingnya adalah rasa takut kepada-Nya. Daun daunnya adalah rasa malu kepada-Nya. Buahnya adalah taat kepada-Nya. Dan bahan yang digunakan untuk menyirammya adalah mengingat-Nya (dzikir). Jika salah satu hal tersebut tidak ada dalam cinta maka cinta tersebut tidak sempurna.”
2. Muraqabah; senantiasa merasa dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Kelika seorang muslimah lupa bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi dan memperhatikannya, akan ada dorongan untuk melanggar larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bermaksiat kepada-Nya, tanpa ada rasa bersalah. Berbeda dengan muslimah yang bertakwa, ia senantiasa merasa berada dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla, sehingga ia malu untuk menyelisihi perintah-perintah-Nya. Lahir dan bathinnya bersih dari perkara yang dapat menimbulkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya
Seorang muslimah yang bertakwa senantiasa berusaha untuk menundukkan hawa nafsunya. Memerangi dan mengalahkan keduanya dengan menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendekatkan diri kepada-Nya dan senang kepada-Nya. la selalu mengintrospeksi dirinya. Jika ia mendapati kekurangan pada dirinya, ia akan mencelanya, berusaha untuk mencegahnya dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kekurangan tersebut masih tersisa, maka jiwanya akan berusaha untuk mengikis dan membersihkan. Hawa nafsunya senantiasa dikendalikan oleh syari’at. Sedangkan muslimah yang tidak menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya, ia akan binasa, jiwanya menjadi rusak dan ia akan menderita kerugian yang nyata.
4. Tidak mengikuti langkah-langkah setan
Hal ini dapat terwujud dengan sempurna bila seorang muslimah benar-benar mengetahui tipu daya dan perangkap setan. Senantiasa waspada terhadap bisikan dan makarnya. Hal pertama yang wajib diketahui oleh seorang muslimah adalah; setan adalah musuh yang nyata bagi bani Adam. Maka tidak mungkm setan menyuruhnya untuk berbuat kebaikan dan mencegahnya dari perbuatan mungkar.
5. Mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”(QS. Al-Hajj:32)
Sya’aair adalah bentuk plural dan sya’irah; yaitu segala sesuatu yang diperuntukkan untuk AllahSubhanahu wa Ta’ala, dan mengandung sesuatu yang maklum diketahui, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Al-Qurthubi Rahimahullah.
Muslimah yang senantiasa menjaga shalat, hijab, lisan dan auratnya pada hakikatnya adalah muslimah yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala.


sumber: http://an-naba.com/jadilah-wanita-paling-mulia/

Kamis, 10 Februari 2011

Dosa-dosa Ber-valentine



 
valentine day
Tidaklah ada sebuah syariat yang diajarkan Islam yang berakibat keburukan. Dan terbukti bahwa seluruh apa yang disyariatkan Islam benar-benar membawa kebaikan dan mengantarkan umat yang ta’at menuju kepada keridhoan. Tatkala valentine’s day bukan dari dan untuk Islam, sudah tentu ia mengandung berbagai jenis kerusakan dan keburukan. Tentu di antaranya ialah membawa racun-racun dosa bagi siapa saja yang turut serta di dalamnya. Di antara dosa-dosa ber-valentine yang begitu nyata itu ialah:

Dosa Latah dan Ber-tasyabbuh
Di antara dosa-dosa ber-valentine ialah latah dan meniru serta ber-tasyabbuh. Meniru dan latah erat kaitannya dengan rasa kagum, pengagungan, serta kecintaan seseorang. Tidaklah seseorang meniru melainkan sebab kekagumannya, atau pengagungannya atau sebab kecintaannya. Jauh-jauh hari Islam telah mengingatkan umatnya agar berhati-hati dan waspada dari kebiasaan latah dan meniru-niru.  Sebab salah melatah dan meniru akan berakibat kesalahan yang sungguh sangat berbahaya. Apabila yang ditiru ialah orang-orang yang sholih yang menjadi qudwah (teladan) umat maka keberuntungan. Namun apabila yang ditiru ialah kaum fasiq (suka berbuat dosa), kaum kafir, maka berarti musibah dan kemaksiatan.
Perhatikanlah sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam tentang perilaku apa yang kiranya akan dilakukan oleh umat ini. Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَتَتْبَعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ » . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »

“Sungguh kalian akan mengikuti (perlakuan) orang yang sebelum kalian, sejengkal sejengkal, dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun tentu kalian tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Siapa (kalau bukan mereka)?”[i]
Sungguh, sebagian besar umat ini telah mengikuti Yahudi dan Nasrani, bahkan mereka telah meniru dan semangat untuk bisa menjadi serupa atau sama dengan dua kaum tersebut. Padahal Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengancam dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Siapa saja yang menyerupakan diri dengan suatu kaum maka ia termasuk dari kaum itu.”[ii]
Dosa Kagum dan Cinta Kaum Kafir
Bisa jadi karena kekaguman mereka meniru suatu kaum tersebut. Bisa juga karena pengagungan atau juga karena kecintaan. Alasan manapun yang mereka pegangi semuanya adalah kesalahan dan musibah.
Perhatikanlah apa yang dikisahkan oleh seorang sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Suatu saat dia pernah berkata: “Datanglah seorang laki-laki kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: “Wahai Rosululloh, kapan kiranya akan tegak hari kiamat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang telah kau persiapkan untuk menyambut kiamat?” Dia menjawab: “Kupersiapkan kecintaanku kepada Alloh dan kepada Rosul-Nya”. Lalu beliau pun bersabda:

فَإِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“Sesungguhnya kau akan bersama siapa yang kau cinta.”
Kemudian Anas radhiyallahu anhu mengatakan: “Kami (para sahabat) tidaklah pernah merasa gembira setelah keislaman kami dengan kegembiraan sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesungguhnya kau akan bersama siapa yang kau cinta”. Anas radhiyallahu anhu pun mengatakan, “Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar. Aku berharap bisa bersama mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka”.[iii]
Bila seseorang akan dikumpulkan bersama siapa yang dipuja dan dicinta, maka bagaimana kiranya nasib orang-orang yang mencinta dan mengagungkan kaum fasik dan orang-orang kafir lagi durhaka? Musibah apa lagi kiranya yang lebih besar dari ini semua?
Dosa Menghamburkan Harta dan Ikut Perbuatan Setan
Tak sayang harta menjadi hal yang wajar bagi mereka yang ber-valentine. Dengan dalih menebarkan kasih sayang (menurut persangkaan mereka), mereka hamburkan harta. Inilah salah satu jalan setan yang mereka pilih dan mereka ikuti. Yaitu menyia-nyiakan harta dan dan membelanjakannya untuk kemaksiatan. Dan Alloh azza wajalla telah berfirman:
… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Robbnya.[iv]
Dosa Pergaulan Bebas dan Perzinaan
Tak dipungkiri bahwa Islam adalah agama kasih sayang dan memerintahkan agar umatnya senantiasa berkasih sayang. Namun sesungguhnya kasih sayang dalam Islam ialah kasih sayang yang mulia, kasih sayang yang tulus dan tak kenal pamrih. Ialah kasih sayang yang penuh dengan aturan, adab dan tata krama syari’atnya yang agung. Bandingkan dengan kenyataan kaum yang menebarkan kasih sayang di hari valentine. Bukankah mereka telah banyak melanggar aturan Islam dalam berhubungan antara laki-laki dengan perempuan yang telah diatur dengan aturan yang indah dan luhur? Bukankah bervalentine semakna dengan berpesta pergaulan bebas antara laki-laki dengan perempuan tanpa aturan?
Allohumma, ya Alloh, ampunkan buat kami atas dosa dan kelemahan kami. Sungguh, menebar kasih sayang menurut mereka ialah pergaulan bebas tanpa aturan, pergaulan bebas tanpa tata krama. Berbaurnya laki-laki dengan kaum perempuan dan dilakukannya apa yang mereka hendak lakukan semaunya dan tanpa batasan. Berpasanag-pasangan dan bersepi-sepi, sembunyi dari pandangan mata manusia untuk bermaksiat kepada Dzat Yang tak kan tersembunyi perzinaan mereka bagi-Nya azza wajalla.
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Tidaklah seorang laki-laki bersepi-sepi berduaan dengan seorang perempuan (yang bukan istrinya) kecuali yang ketiganya ialah setan”[v]
Sehingga setanlah yang menghias dan mengarahkan semua pandangan mata, seluruh ucapan lisan, semua yang terdengar, seluruh sentuhan dan langkah langkah-langkah kaki mereka. Jadilah mereka diperbudak oleh setan setelah mereka diperbudak oleh nafsu.
Apakah bersama-sama melakukan perbuatan dosa seperti ini yang dinakaman berkasih sayang? Apakah bersama-sama memperturutkan nafsu lalu tunduk patuh diperbudak setan seperti ini yang namanya berkasih sayang?
Hanya kepada Alloh ta’ala kita adukan semua musibah yang menimpa sebagian besar umat ini. Semoga Alloh subhanahu wata’ala memelihara kita dan keluarga kita dari dosa-dosa dan kemaksiatan. Amin.

[i] HR. al-Bukhori 7320 dan Muslim 6952, dan ini lafazh al-Bukhori.
[ii] HR. Abu Dawud 4033, Ahmad 2/50 dan 92, dishohihkan oleh al-Albani v\ dalam Irwaul Gholil 1269
[iii] HR Muslim 6881
[iv] QS. al-Isro’ [17]: 26-27
[v] HR Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohihul Jami’2546

Senin, 07 Februari 2011

Antara Perhiasan dan Aurat Wanita


Dari judul tulisan ini terasa ada yang aneh. Apa hubungan antara perhiasan dengan aurat? Bukankah perhiasan itu sesuatu yang lepas dari aurat? Lalu apa kaitannya antara keduanya? Penjabaran dari masalah tersebut mengacu pada firman Alloh Subhanahu wa Ta’aladalam surat an-Nur ayat 31 serta hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam yang akan kita sebutkan di bawah ini.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung. (QS. an-Nur [24]: 31)
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat. Apabila ia keluar (dari rumahnya), setan senantiasa mengintainya.”[1]
Hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam tersebut memberikan pengertian bahwa seorang wanita mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya adalah aurat, yang apabila nampak akan menjadikan dirinya malu. Lalu apakah seorang wanita itu harus selalu berkemul dan tidak boleh terlihat sedikit pun? Kalaupun ada yang boleh terlihat, lalu apakah yang boleh itu berarti boleh bagi seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan?
Masalah seperti ini adalah masalah syari’at yang mulia. Sebagaimana yang menetapkan bahwa wanita seluruhnya aurat adalah syari’at, sehingga tidaklah dikecualikan dari bagian-bagian tubuh seorang wanita yang boleh terlihat kecuali harus menurut dalil-dalil syari’at yang benar. Dan dalil syar’i tentang pengecualian tersebut ada di dalam ayat di atas.
Perhiasan yang biasa Tampak
Dalam ayat di atas Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.
Ibnu Jarir ath-Thobari Rohimallohu Ta’ala dalam tafsirnya (18/92) membawakan riwayat yang shohih mauquf dari Abdulloh bin Mas’ud Rodhiallohu’anhu yang berkata: AllohSubhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.” dia (Abdulloh bin Mas’ud) berkata: (yaitu) tsiyab (pakaian luar).[2]
Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad asy-Syinqithi Rohimallohu Ta’ala (Adhwa’ul Bayan 6/197) dan juga oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-AlbaniRohimallohu Ta’ala (Hijabul Mar’ah al-Muslimah hlm. 17).[3] Sebab makna perhiasan ialah apa yang seorang wanita berhias dengannya dan bukan termasuk asal penciptaan dirinya, dan yang melihatnya tidak mengharuskan melihat sebagian dari anggota badannya, seperti yang nampak dari pakaian luarnya yang tidak mungkin ditutup.[4]
Penjelasan ini semakna dengan hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam di atas, bahwa seluruh tubuh serta perhiasan seorang wanita adalah aurat yang tidak boleh terlihat oleh orang lain yang bukan mahromnya sedikitpun.[5] Berarti, seorang wanita tidak boleh terlihat sedikit pun, bagian tubuh maupun perhiasannya, oleh laki-laki lain yang bukan mahromnya selain pakaian luar yang menutup dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Dan inilah yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak dalam ayat di atas. Wallohu a’lam.
Perhiasan yang Tersembunyi
Selanjutnya ayat, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,….
Ibnu Jarir ath-Thobari Rohimallohu Ta’ala dalam tafsirnya (18/94) menyebutkan riwayat yang shohih dari Qotadah Rohimallohu Ta’ala tentang firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala(yang artinya): “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka …dst”, dia Rohimallohu Ta’ala berkata: “Seorang wanita boleh menampakkan kepalanya kepada mereka (yang tersebut dalam ayat).”
Diriwayatkan dari Abu Salamah Rodhiallohu’anhu ia berkata: “Aku datang bersama saudara laki-laki ‘Aisyah Rodhiallohu’anha kepada ‘Aisyah. Lalu bertanyalah saudaranya kepadanya tentang mandinya Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam. Maka ia (‘Aisyah) meminta diambilkan wadah seukuran satu sho’ kemudian ia mandi dengan mengguyurkan air ke atas kepalanya. Sedangkan antara kami dan dia ada hijab (penghalang)nya.” (HR. al-Bukhori dalam Fathul Bari 1/364)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani Rohimallohu Ta’ala dalam Fathul Bari (1/465) berkata: “Al-Qodhi Iyadh berkata: “Yang nampak bahwa kedua laki-laki tersebut melihat yang dilakukan ‘Aisyah pada kepalanya dan juga bagian atas tubuhnya dari yang boleh dilihat oleh mahromnya, sebab ‘Aisyah adalah bibi susuan dari Abu Salamah di mana dia telah disusui oleh Ummu Kultsum, saudari ‘Aisyah. Dan ia menutup bagian tubuhnya yang bawah dari yang tidak halal dilihat meski oleh mahromnya.”[6]
Berdasarkan ayat di atas dengan keterangan riwayat-riwayat yang ada, bisa diambil beberapa pelajaran sebagai berikut:
  1. Yang dimaksud dengan perhiasan di sini ialah yang ditutupi dengan pakaian luar seorang wanita, yang tidak boleh terlihat oleh laki-laki lain yang bukan mahromnya. Karena itulah perhiasan ini disebut juga dengan perhiasan yang tersembunyi, yaitu yang disembunyikan dari selain mahrom dan dari selain orang-orang yang disebutkan oleh Alloh Azza wa Jalla dalam ayat di atas.
  2. Berdasarkan beberapa riwayat di atas, yang dimaksud perhiasan di sini ialah termasuk anggota tubuh yang perhiasan biasa dikenakan padanya, bukan hanya pada perhiasannya itu sendiri. Perhatikan beberapa riwayat di atas yang jelas menyebutkan bahwa yang boleh terlihat dari seorang wanita muslimah di antaranya ialah kepala dan anggota wudhunya, bukan sekadar perhiasan yang dikenakannya. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan dalam ayat tersebut termasuk mawadhiuz zinah, artinya tempat-tempat di mana perhiasan itu dikenakan padanya. Seperti di kepala ada anting-anting di telinga, di leher ada kalung, di tangan ada gelang, di kaki ada gelang kaki. Maka maksudnya ialah bukan sekadar tidak boleh menampakkan berbagai perhiasan tersebut, namun juga tidak boleh menampakkan anggota tubuh yang perhiasan biasa dikenakan padanya meski ketika perhiasan tidak sedang dikenakan.
  3. Dan berdasarkan keumuman hadits Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa sallam bahwa seluruh tubuh seorang wanita muslimah dari ujung rambut sampai ujung kaki adalah aurat yang tidak boleh terlihat, maka ayat tersebut telah mengecualikan anggota tubuh yang mana yang boleh terlihat dan oleh siapa boleh terlihat. Sehingga seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan memperlihatkan anggota tubuhnya kepada orang-orang yang disebutkan dalam ayat melebihi yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu selain tempat-tempat yang perhiasan biasa dikenakan padanya dan anggota wudhunya saja.
  4. Berdasarkan ayat di atas, yang diperbolehkan melihat kepala seorang wanita muslimah dengan perhiasannya serta anggota wudhunya juga dengan perhiasan yang biasa ada padanya hanyalah mereka yang disebutkan di dalam ayat tersebut saja. Hal ini sebagaimana tegasnya Alloh Azza wa Jalla mengecualikan orang-orang yang disebutkan dalam ayat tentang bolehnya mereka melihat perhiasan dan anggota tubuh yang biasanya sebagai tempat perhiasan juga anggota wudhu seorang wanita muslimah.
Perhiasan yang Paling Tersembunyi
Adapun anggota tubuh yang lain, selain dari anggota wudhu dan tempat-tempat perhiasan seorang wanita muslimah, maka yang boleh melihatnya ialah suaminya. Sehingga seorang wanita muslimah tidak diperbolehkan memperlihatkan dadanya ke bawah, dan dari betisnya ke atas selain kepada suaminya. Sebagaimana pengecualian yang Alloh Azza wa Jallasebutkan dalam ayat di atas.
Sedangkan antara suami istri maka tidak ada batasan aurat antara keduanya, di mana mereka boleh melihat bagian tubuh pasangannya yang mana saja yang ia inginkan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah Rodhiallohu’anha, yang mengatakan: “Dahulu aku pernah mandi bersama Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam satu bejana yang disebut al-Faroq.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al–Asqolani Rohimallohu Ta’ala dalam Fathul Bari (1/364) mengatakan: “Dan ad-Dawudi berdalil dengan hadits ini atas bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya dan sebaliknya. Dan hal ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwa ia ditanya tentang hukum seorang suami melihat farji istrinya lalu dia mengatakan: “Aku bertanya kepada Atho’, maka beliau berkata: ‘Aku bertanya kepada Aisyah Rodhiallohu’anha lalu dia Rodhiallohu’anha menyebutkan makna hadits tersebut.’”
Maka ini sebagai dalil dalam masalah ini (dibolehkannya seorang suami melihat farji istrinya dan sebaliknya). Wallohu a’lam.
_______________________________________________
Referensi:
  • Jami’ Ahkamin Nisa’, Musthofa al-Adawi
  • Irwa’ul Gholil, Muhammad Nashiruddin al-Albani
  • Shohihul Jami’Muhammad Nashiruddin al-Albani
  • Tafsirul Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir
  • Kaset kajian Aurotul Mar’ah Muslimah Amama Ukhtihal Muslimah oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani.

[1] HR at-Tirmidzi, dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa’ no: 273 dan dalam Shohihul Jami’ no: 6690
[2] Jami’ Ahkamin Nisa’, Musthofa al-Adawi, 4/486
[3] Jami’ Ahkamin Nisa’, Musthofa al-Adawi, 4/489-491
[4] Ibid
[5] Tafsirul Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir, 6/45
[6] Juga diriwayatkan oleh Muslim 1/618 dan an-Nasa’i 1/127