Minggu, 11 Desember 2011

RINGKASAN TENTANG MAHRAM



Mahram merupakan masalah yang penting dalam Islam karena ia memiliki beberapa fungsi yang penting dalam tingkah laku, hukum-hukum halal/haram. Selain itu juga, Mahram merupakan kebijaksanaan Allah dan kesempurnaan agama-Nya yang mengatur segala kehidupan. Untuk itu, seharusnya kita mengetahui siapa-siapa saja yang termasuk mahram dan hal-hal yang terkait dengan mahram.

Banyak sekali hukum tentang pergaulan wanita muslimah yang berkaitan erat dengan masalah mahram, Seperti hukum safar, kholwat (berdua-duaan), pernikahan, perwalian dan lain-lain.

Ironisnya, masih banyak dari kalangan kaum muslimin yang tidak memahaminya, bahkan mengucapkan istilahnya saja masih salah, misalkan mereka menyebut dengan "Muhrim" padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihrom untuk haji atau umroh.

Dari sinilah, maka kami mengangkat masalah ini agar menjadi bashiroh (pelita) bagi ummat. Wallahu Al Muwaffiq 

DEFINISI MAHRAM:
       Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan. [Al-Mughni 6/555]

DEFINISI MAHRAM BAGI WANITA:
       Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata : Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman dan lain-lain. [An-Nihayah 1/373]

       Syaikh Sholeh Al-Fauzan berkata : Mahram bagi wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah ataupun anak tirinya. [Tanbihat 'Ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat, hal. 67]

DEFINISI MAHRAM BAGI LAKI-LAKI:
Imam an-Nawawi memberi batasan dalam sebuah definisi berikut,
        كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها

Setiap wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena statusnya yang haram. (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 9:105)

Kemudian beliau memberikan keterangan untuk definisi yang beliau sampaikan:
          Haram untuk dinikahi selamanya : Artinya ada wanita yang haram dinikahi, namun tidak selamanya. Seperti adik istri atau bibi istri. Mereka tidak boleh dinikahi, tetapi tidak selamanya. Karena jika istri meninggal atau dicerai, suami boleh menikahi adiknya atau bibinya.

          Disebabkan sesuatu yang mubah : Artinya ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya dengan sebab yang tidak mubah. Seperti ibu wanita yang pernah disetubuhi karena dikira istrinya, atau karena pernikahan syubhat. Ibu wanita ini haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan mahram. Karena menyetubuhi wanita yang bukan istrinya, karena ketidaktahuan bukanlah perbuatan yang mubah.

          Karena statusnya yang haram : Karena ada wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, namun bukan karena statusnya yang haram tetapi sebagai hukuman. Misalnya, wanita yang melakukan mula’anah dengan suaminya. Setelah saling melaknat diri sendiri karena masalah tuduhan selingkuh, selanjutnya pasangan suami-istri ini dipisahkan selamanya. Meskipun keduanya tidak boleh nikah lagi, namun lelaki mantan suaminya bukanlah mahram bagi si wanita.

MACAM-MACAM MAHRAM

  Dari pengertian di atas, maka mahram itu terbagi menjadi tiga macam: 
  1. Mahram Karena Nasab (Keturunan
  2. Mahram Karena Rodho’ah (Persusuan) 
  3. Mahram Karena Mushoharoh (Pernikahan)

DALIL- DALIL TENTANG MAHRAM:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)

31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. an-Nur:31)

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23)
22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri), terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan [1]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa: 22-23)
[1] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Dalil dari hadits bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi  wasallam bersabda:
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Diharamkan dari persusuan apa-apa yang diharamkan dari nasab
(HR. Bukhari 3/222/ 2645, Muslim: 2/1068/ 1447, Abu Dawud 1/474, Nasa'i 6/82, Darimi 2/156, Ahmad 1/27)

Ringkasan mengenai mahram dari ayat-ayat di atas:

1. Mahram bagi wanita karena Nasab (Keturunan

1.       Ayah, kakek, buyut laki-laki dan seterusnya ke atas.
2.       Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
3.       Saudara laki-laki, baik saudara kandung, sebapak, atau seibu.
4.       Keponakan laki-laki dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
5.       Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
6.       Paman dari jalur bapak (a’maamun)
7.       Paman dari jalur ibu (akhwaalun).

2. Mahram bagi wanita karena Rodho’ah (Persusuan)

1.       Bapak persusuan, kakek persusuan, buyut laki-laki persusuan dan seterusnya ke atas.
2.       Anak laki-laki susu, juga cucu laki-laki dari anak susu. dan seterusnya ke bawah.
3.       Saudara laki-laki sepersusuan, baik saudara susu kandung, sebapak, atau seibu.
4.       Keponakan laki-laki dari saudara perempuan sepersusuan dan keturunannya ke bawah.
5.       Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sepersusuan dan keturunannya ke bawah.
6.       Paman dari jalur bapak persusuan
7.       Paman dari jalur ibu susu

3. Mahram bagi wanita karena Mushoharoh (Pernikahan)

1.       Suami. 
2.       Ayah Mertua (Ayah Suami), kakek istri  dan seterusnya keatas.
3.       Anak Tiri (Anak suami dari istri lain). 
4.       Ayah Tiri (Suami ibu tapi bukan bapak kandungnya), kakek tiri (suami nenek) dan seterusnya ke atas. 
5.       Menantu Laki-Laki (Suami anak kandung), suami cucu dan seterusnya kebawah.

1. Mahram bagi laki-laki karena Nasab (Keturunan)

1.       Ibu , nenek, buyut perempuan dan seterusnya ke atas.
2.       Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
3.       Saudara perempuan, baik saudari kandung, sebapak, atau seibu.
4.       Keponakan perempuan dari saudara perempuan dan keturunannya ke bawah.
5.       Keponakan perempuan dari saudara laki-laki dan keturunannya ke bawah.
6.       Bibi dari jalur bapak (‘ammaat).
7.       Bibi dari jalur ibu (Khalaat).

2. Mahram bagi laki-laki karena Rodho’ah (Persusuan)

1.       Ibu, nenek persusuan, buyut perempuan persusuan dan seterusnya ke atas.
2.       Anak perempuan susu, cucu perempuan dari anak susu, dan seterusnya ke bawah.
3.       Saudara perempuan sepersusuan, baik saudari susu kandung, sebapak, atau seibu.
4.       Keponakan perempuan dari saudara perempuan sepersusuan dan keturunannya ke bawah.
5.       Keponakan perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan keturunannya ke bawah.
6.       Bibi dari jalur bapak persusuan.
7.       Bibi dari jalur ibu susu

3. Mahram bagi laki-laki karena Mushoharoh (Pernikahan)

1.       Istri
2.       Ibu istri (ibu mertua), nenek istri dan seterusnya ke atas, meskipun hanya dengan akad
3.       Anak perempuan istri (anak tiri), jika si lelaki telah melakukan hubungan dengan ibunya
4.       Ibu tiri (istri bapak), nenek tiri (istri kakek), dan seterusnya ke atas
5.      Menantu perempuan (istri anak kandung), istri cucu, dan seterusnya kebawah.


  Diringkas dari beberapa sumber, oleh Ari Mardiah Joban

Sabtu, 10 Desember 2011

APA YANG KITA LAKUKAN KETIKA TERADI GERHANA

Pada tahun 2011 ini telah diprediksikan terjadi empat kali Gerhana Matahari Sebagian (GMS), yaitu tanggal 4 Januari 2011, 1 Juni 2011, 1 Juli 2011 dan 25 November 2011. Keempatnya tidak dapat disaksikan dari wilayah Indonesia. Adapun Gerhana Bulan Total (GBT) diprediksi terjadi pada 10 Desember 2011.Dan gerhana ini dapat disaksikan dari wilayah Indonesia berupa GBT 10 Desember 2011 malam hari.



SEPUTAR SHOLAT GERHANA
(Abû Salmâ al-Atsarî)
Ironinya, banyak masyarakat awam yang tidak faham bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak diantara mereka yang mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah islamiyah. Di antara mereka ada yang meyakini bahwa di saat terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa. Di Tahiti, masyarakatnya meyakini bahwa bulan dan matahari adalah sepasang kekasih, sehingga apabila mereka berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga timbullah gerhana sebagai bentuk percintaan mereka. Sebagian masyarakat seringkali mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.
Masyarakat Arab sendiri, mereka juga memiliki keyakinan bahwa gerhana terjadi terkait dengan kelahiran dan kematian orang tertentu. Oleh karena itu, ketika terjadi gerhana di zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam pada hari putera terkasih beliau Ibrâhîm wafat, orang-orang mengatakan : “gerhana matahari ini terjadi oleh sebab wafatnya Ibrâhîm”. Mendengar hal ini, Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
إنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا ، فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى تَنْكَشِفَ
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda Allôh. Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu bukanlah disebabkan oleh kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian mendapati kedua gerhana ini, maka berdoalah kepada Allôh dan sholatlah sampai selesainya gerhana.” (Muttafaq ‘alaihi dari Mughîrah bin Syu’bah Radhiyallâhu ‘anhu)
Disebabkan masih banyaknya masyarakat kita yang belum faham tentang masalah sholat gerhana, dan apa saja yang seharusnya kita lakukan di saat terjadinya gerhana, maka saya susun risalah ringkas ini, semoga dapat bermanfaat baik bagi diri penyusun sendiri, keluarganya, rekan-rekannya dan seluruh kaum muslimin. Penulis tidak lupa untuk meminta kepada rekan-rekan penuntut ilmu atau asâtidzah yang membaca risalah ini, apabila ada yang kurang tepat, keliru atau salah, maka penulis dengan lapang dada dan besar hati menerima segala nasehat, masukan dan kritikan yang konstruktif.
Definisi Gerhana (Kusûf dan Khusûf)
Kata Kusûf menurut bahasa artinya adalah at-Taghoyyar ila as-Sawâd (berubah menjadi gelap). Jika dikatakan kasafat hâluhu artinya jika keadaannya berubah, jika dikatakan kasafa wajhuhuapabila rona wajahnya berubah. Apabila dikatakan wa kasafat asy-Syamsu artinya apabila matahari mulai gelap dan cahayanya mulai pudar. (Fathul Bârî karya Ibnu Hajar II/526).
Kata Khusûf secara bahasa artinya adalah an-Nuqshôn (berkurang). Jika dikatakan ‘ainun khâsifah artinya adalah apabila pengelihatannya sudah tidak tajam lagi. Jika dikatakan Bi`ru makhsufah, artinya adalah apabila airnya telah terkuras habis. (al-I’lâm bi Fawâ`idi ‘Umdatil Ahkâm IV/264)
Jadi, apabila dikatakan kusûf atau khusûf asy-Syamsi wal Qomari artinya adalah perubahan dan berkurangnya cahaya matahari dan bulan, dan kedua kata ini bermakna satu. (al-MughnîV/321).
Kusuf dan Khusûf menurut terminologi bermakna tertutupnya cahaya matahari atau bulan atau sebagiannya oleh sebab hal yang lazim/alami, yang Allôh memaksudkannya untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, kata kusûf dan khusûf adalah sinonim (mutarôdif) yang bermakna satu. Jadi boleh dikatakan kasafat asy-Syamsu wa khosafat dan kasafa al-Qomaru wal khosafa. (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zâdil Mustaqni’ V/229)
Adapula yang berpendapat bahwa kusûf adalah khusus untuk matahari sedangkan khusûf adalah khusus untuk bulan. Pendapat inilah yang dipilih oleh Tsa’lab, dan dikatakan lebih fasih oleh al-Jauharî. (Subulus Salâm II/496).
Yang râjih adalah, apabila kata kusûf dan khusûf disebutkan berbarengan maka artinya berbeda,kusûf untuk gerhana matahari dan khusûf untuk gerhana bulan. Namun, apabila disebutkan secara bersendirian, maka bermakna satu, yaitu satu dengan lainnya saling mencakup. Dan pendapat inilah yang dipegang oleh Faqîhuz Zamân, al-‘Allâmah Muhammad bin Shâlihal-‘Utsaimin rahimahullâhu. Wallôhu a’lâm. (asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâdil Mustaqni’V/229)
Hukum Sholat Gerhana
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum sholat gerhana. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa sholat gerhana hukumnya adalah sunnah mu`akkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Bahkan sampai ada yang mengklaim bahwa hukum sunnah mu`akkadah ini adalah dengan dasar ittifaq al-Fuqohâ` (kesepakatan ulama ahli fikih). Imam Nawawî rahimahullâhujuga berpendapat demikian, beliau mengatakan:
وأجمع العلماء على أنها سنة
“Para ulama berkonsensus bahwa hukum sholat gerhana adalah sunnah” (Syarh ShahîhMuslim VI/451)
Pendapat Imam Nawawî ini perlu ditinjau ulang. Sebab, ada sebagian ulama yang berpandangan bahwa sholat gerhana hukumnya adalah wajib. Sebagaimana dituturkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajarrahimahullâhu, beliau berkata :
فالجمهور على أنها سنة مؤكدة، وصرح أبو عوانة في صحيحه بوجوبها، ولم أره لغيره، إلا ما حُكي عن مالك أنه أجراها مجرى الجمعة، ونقل الزين بن المنير عن أبي حنيفة أنه أوجبها، وكذا نقل عن بعض مصنفي الحنفية أنها واجبة
“Jumhur berpendapat bahwa hukumnya (sholat gerhana) adalah sunnah mu`akkadah. Abû ‘Awânah menegaskan di dalam Shahîh-nya bahwa hukumnya wajib. Saya tidak melihat ada orang lain yang berpendapat demikian, kecuali yang diriwayatkan dari Mâlik bahwa beliau menganggap pelaksanannya sama dengan sholat Jum’at. Az-Zain bin al-Munîr mengutip dari Abu Hanifah bahwa beliau mewajibkanya, demikian pula dinukil dari sebagian penulis Mushonnaf yang bermadzhab Hanafiyah bahwa sholat gerhana hukumnya wajib.” (Fath al-Bârî II/527)
Ahli Tafsir kontemporer, al-‘Allâmah as-Sa’dî rahimahullâhu mengatakan :
وقال بعض العلماء بوجوب صلاة الكسوف؛ لأن النبي r فعلها وأمر بها
“Sebagian ulama berpendapat akan wajibnya sholat gerhana, sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengamalkan dan memerintahkannya.” (al-Mukhtârât al-Jalîyah minal Masâ`ili al-Fiqhîyah hal. 73)
Pendapat yang râjih adalah : sholat gerhana hukumnya adalah wajib. Sebagaimana dituturkan oleh Faqîh az-Zamân, al-‘Allâmah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâhu beliau berkata :
“Sebagian ulama berpendapat bahwa sholat gerhana wajib hukumnya, dengan dasar sabda NabiShallallâhu ‘alaihi wa Sallam : “Apabila kalian melihat gerhana, maka sholatlah”. Ibnul Qoyyim berkata di dalam buku beliau, Kitâb ash-Sholâh, pendapat yang kuat dalam masalah ini yaitu wajib hukumnya. Beliau rahimahullâhu benar, sebab Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallammemerintahkan sholat gerhana dan beliau sendiri keluar (dari rumahnya) dalam keadaan ketakutan. Beliau berkata bahwa (hikmah syar’i terjadinya) gerhana untuk menakuti (manusia). Nabi pun berkhutbah dengan khutbah yang agung dan dipaparkan kepada beliau surga dan neraka. Kesemua ini merupakan indikasi (qorînah) yang besar atas kewajiban sholat gerhana.Seandainya kita katakan bahwa sholat gerhana tidak wajib, sedangkan manusia di kala terjadinya gerhana mereka meninggalkan sholat, padahal ada perintah dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam dan ada penekanan untuk melaksanakannya, namun mereka dianggap tidak berdosa. Maka pendapat ini perlu diteliti kembali. Bagaimana mungkin gerhana itu untuk menakuti manusia namun kita tidak memperdulikannya seakan-akan ini suatu hal yang biasa. Lantas di mana rasa takut kita? Sungguh pendapat (Ibnul Qoyyim) ini adalah pendapat yang sangat kuat. Saya tidaklah memandang bahwa manusia ketika mendapati gerhana matahari atau bulan, kemudian mereka tidak mempedulikannya, semuanya sibuk dengan perniagaannya, sibuk dengan bersenda gurau, dan semuanya sibuk dengan perkebunannya. Maka hal ini dikhawatirkan akan menjadi penyebab turunnya hukuman yang Allôh telah memperingatkannya dengan terjadinya gerhana ini. Maka pendapat akan wajibnya sholat gerhana lebih kuat ketimbang pendapat yang menyatakan sunnah.” (asy-Syarh al-Mumti’ V/237-240)
Pendapat ini pula yang dipegang oleh Syaikhunâ Masyhur Hasan Âlu Salmân hafizhahullâhu di dalam buku beliau al-Qoul Mubîn fî Akthâ’il Mushollîn.
Adab & Anjuran Ketika Terjadi Gerhana
Ketika terjadi gerhana, baik gerhana matahari dan bulan, dianjurkan dan disunnahkan untuk melakukan sebagai berikut :
1. Merasa takut kepada Allôh Ta’âlâ di kala terjadi gerhana. Sebagaimana sabda NabiShallallâhu ‘alaihi Sallam :
إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله، لا ينكسفان لموت أحد، ولكن الله يخوِّف بهما عباده
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda diantara tanda-tanda Allôh. Gerhana matahari dan bulan terjadi bukan disebabkan oleh kematian seseorang. Akan tetapi Allôh bermaksud menakuti hamba-hamba-Nya dengannya.” (HR Bukhârî)
Di dalam hadits Abû Burdah dari Abû Mûsâ Radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :
خسفت الشمس فقام النبي r فَزِعًا يخشى أن تكون الساعة، فأتى المسجد فصلى بأطول قيام، وركوع، وسجود رأيته قط يفعله، وقال: ((هذه الآيات التي يرسل الله لا تكون لموت أحد ولا لحياته،ولكن يخوِّف الله بها عباده،فإذا رأيتم شيئًا من ذلك فافزعوا إلى ذكر الله ودعائه، واستغفاره))
“Ketika terjadi gerhana matahari, Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam sontak berdiri terkejut dan merasa ketakutan kiamat akan datang. Beliau lantas pergi ke masjid dan melakukan sholat yang panjang berdiri, ruku’ dan sujudnya. Aku melihat beliau begitu ajegnya melakukannya. Setelah itu Nabi bersabda : “Gerhana ini adalah tanda-tanda yang Allôh mengutusnya bukan disebabkan karena kematian atau kelahiran seseorang. Namun gerhana ini diutus supaya Allôh menakuti hamba-hamba-Nya. Apabila kalian melihat sesuatu dari gerhana, maka takutlah dan bersegeralah berdzikir kepada Allôh, berdoa dan memohon pengampunan-Nya.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Al-Hâfizh berkata : “Bisa jadi ketakutan Nabi Shallallâhu ‘alaihi Sallam ketika terjadinya gerhana merupakan pendahuluan terjadinya tanda-tanda kiamat (besar), seperti terbitnya matahari dari barat. Bukanlah suatu hal yang mustahil terjadinya gerhana merupakan perantara terbitnya matahari (dari timur) dengan terbitnya matahari (dari barat)…” (Fathul Bârî II/546)
Jadi, hendaknya seorang mukmin tatkala mendapati gerhana, ia merasa takut kepada AllôhTa’âlâ, khawatir Allôh akan menurunkan adzabnya kepada kita. Apabila Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm saja merasa takut, padahal beliau adalah hamba Allôh yang paling dicintai Allôh, lantas mengapa kita melewati waktu gerhana dengan perasaan biasa saja, bahkan kita lalui dengan perbuatan-perbuatan yang sia-sia, bahkan maksiat.
2. Berusaha menghadirkan apa yang dilihat oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallamberupa perkara­-perkara besar yang dilihat beliau ketika sholat gerhana. Hal ini akan membuahkan rasa takut kepada Allôh Ta’âlâ. Karena Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam sholat gerhana, melihat surga dan neraka. Beliau sampai-sampai berhasrat hendak meraih setandan buah dari surga sehingga beliau merasa gembira. Beliau juga melihat beberapa bentuk siksa api neraka. Beliau melihat seorang wanita yang diadzab oleh sebab kucingnya, beliau melihat ‘Amrû bin Luhay menyeret ususnya di api neraka dan dia adalah orang pertama yang merubah agama Ibrâhîm ‘alaihi as-Salâm. Dan beliau melihat bahwa penghuni neraka terbanyak adalah kaum wanita, disebabkan mereka seringkali membangkang untuk berlaku baik terhadap suaminya.
Dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda selepas gerhana :
إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته، فإذا رأيتم ذلك فاذكروا الله
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda dari tanda-tanda Allôh. Gerhana matahari dan bumi tidaklah terjadi oleh sebab kematian atau kelahiran seseorang. Apabila kalian melihat gerhana maka berdzikirlah kepada Allôh.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh, kami melihat Anda sedang meraih sesuatu di tengah sholat kemudian kami melihat Anda mundur ke belakang.”
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab :
إني رأيت الجنة فتناولت منها عنقودًا، ولو أصبته لأكلتم منه ما بقيت الدنيا، ورأيت النار فلم أرَ منظرًا كاليوم قط أفظع، ورأيت أكثر أهلها النساء
“Sesungguhnya aku tadi melihat surga dan aku tadi berupaya meraih setandan buah-buahan darinya. Seandainya kamu mendapatkannya dan memakannya, niscaya kamu (tidak butuh lagi makanan) di dunia. Kemudian aku melihat neraka dan belum pernah aku melihat pemandangan yang ngerinya seperti itu. Dan kulihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”
Para sahabat bertanya, “Oleh sebab apa wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh menjawab, “oleh sebab kekufuran mereka”. Mereka bertanya lagi, “apa karena mereka kufur kepada Allôh?”. Rasûlullâh menjawab :
يكفرن العشير ويكفرن الإحسان، لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كلَّه، ثم رأت منك شيئًا قالت: ما رأيت منك خيرًا قط
“Mereka mengkufuri suami dan kebaikannya. Apabila kalian berbuat baik kepada salah seorang dari wanita setiap waktu, kemudian dia melihat ada sesuatu yang kurang baik darimu, dia akan berkata : “aku tidak pernah melihatmu berbuat baik sedikitpun.”.” (Muttafaq ‘alaihi)
3. Menyeru untuk melakukan sholat jama’ah. Sebagaimana dalam hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata :
لَمّا كسفت الشمس على عهد رسول الله r نودي: إن الصلاة جامعة
“Ketika terjadi gerhana matahari di zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, diserukan : “Sesungguhnya sholat secara berjama’ah”.” (Muttafaq ‘alayhi)
Juga sebagaimana di dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu anhâ beliau berkata :
خسفت الشمس على عهد رسول الله r، فأمر النبي r مناديًا ينادي أن الصلاة جامعة، فاجتمعوا واصطفوا فصلى بهم أربع ركعات في ركعتين وأربع سجدات
“Pada zaman Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam terjadi gerhana matahari, lalu NabiShallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk menyerukan sholat secara berjama’ah. Kemudian para sahabat berkumpul dan berbaris melakukan sholat empat kali ruku’ dan sujud di dalam dua rakaat.” (HR an-Nasâ`î dan Abû Dâwud, dishahihkan oleh al-Albânî di dalam Irwâ` al-Gholîl no 658).
4. Tidak ada adzan dan iqomah pada sholat gerhana. Karena Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukan sholat gerhana tanpa adzan dan iqomah. Barangsiapa yang melakukan sholat gerhana secara berjama’ah diawali dengan adzan dan iqomah, maka ia harus menunjukkan dasar dan tuntunannya dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar menukil ucapan Ibnu Daqîq al-Îd tentang sholat gerhana, beliaurahimahullâhu berkata :
وقد اتفقوا على أنه لا يُؤَذَّنُ لها ولا يُقام
“Telah sepakat para ulama bahwa sholat gerhana tidak ada adzan dan iqomah…” (Fathul BârîII/533)
Al-Imâm Ibnu al-Qudâmah rahimahullâhu berkata :
ويُسَنُّ أن ينادى لها: الصلاة جامعة.. ولا يسن لها أذان ولا إقامة
“Disunnahkan untuk menyerukan di sholat gerhana dengan ash-Sholâh Jâmi’ah… dan tidak disunnahkan melakukan adzan dan iqomah.” (al-Mughnî III/323)
5. Mengeraskan bacaan ketika sholat gerhana. Dan mengeraskan bacaan ini hukumnya adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ beliau berkata :
جهر النبي r في صلاة الكسوف بقراءته، فإذا فرغ من قراءته كبَّر فركع، وإذا رفع من الركعة قال: ((سمع الله لمن حمدهُ ربنا ولك الحمد)) ثم يعاود القراءة في صلاة الكسوف أربع ركعات في ركعتين، وأربع سجدات
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam mengeraskan bacaan beliau ketika sholat gerhana. Apabila beliau selesai membaca al-Qur`ân, maka beliau bertakbir kemudian ruku’. Ketika bangkit dari ruku’ beliau mengucapkan Sami’a-Llôhu liman hamidahu Robbanâ walaka-l hamdu, kemudian beliau mengulangi membaca al-Qur`an di sholat gerhana sebanyak empat ruku’ dan sujud dalam dua raka’at.” (Muttafaq ‘alaihi)
Para ulama berbeda pendapat tentang mengeraskan bacaan di sholat gerhana. Hanafiyah berpendapat bahwa sholat kusuf (gerhana matahari) dilakukan dengan sirr (lirih) dengan argumentasi bahwa hukum asal sholat di siang hari adalah dengan bacaan lirih. Adapun sholat khusûf dilakukan secara sendiri-sendiri dengan bacaan yang lirih. Mâlikiyah dan Syâfi’iyah berpendapat, sholat gerhana matahari dilakukan dengan lirih karena dilakukan di siang hari, sedangkan sholat gerhana bulan dilakukan dengan jahr (bacaan keras) karena dilakukan pada malam hari. Hanâbilah berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan, kedua-duanya dilakukan dengan mengeraskan bacaan.
Yang lebih râjih adalah, mengeraskan bacaan ini dilakukan baik untuk sholat gerhana di siang hari ataupun sholat gerhana di malam hari, sebagaimana dalam hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ di atas. Sebab, sunnah yang disyariatkan di dalam sholat jama’ah adalah mengeraskan bacaan, sebagaimana di dalam sholat istisqô’ (sholat minta hujan), sholat Îd dan sholat Tarâwîh. Demikianlah pendapat yang lebih râjih insyâ Allôh dan pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Ibnu Qudâmah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyah.
6. Melakukan sholat gerhana secara berjama’ah di masjid. Sebagaimana dalam hadits Â’isyah Radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata :
خرج النبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد، فقام وكبر، وصف الناس وراءه
“Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, sedangkan manusia berbaris di belakang beliau.” (Muttafaq ‘alaihi)
Para ulama berbeda pendapat tentang disyariatkannya jama’ah pada sholat gerhana. Mereka membedakan antara sholat kusûf (gerhana matahari) dan khusûf (gerhana bulan).
Ulama ahli fikih bersepakat bahwa sholat gerhana matahari disunnah untuk dilaksanakan secara berjama’ah di masjid dan diserukan sebelumnya dengan seruan : “ash-Sholatu Jâmi’ah”. Syâfi’iyah dan Hanâbilah memperbolehkan untuk melakukannya secara sendiri-sendiri (munfarid), dengan alasan berjama’ah hanyalah sebatas sunnah saja, bukanlah merupakan syarat. Sedangkan Hanafiyah berpendapat, apabila imam tidak datang, maka manusia boleh sholat sendiri-sendiri di rumah mereka.
Adapun sholat gerhana bulan, Hanafiyah dan Mâlikiyah berpendapat lebih disukai untuk melaksanakannya secara munfarid sebagaimana sholat-sholat sunnah lainnya. Sebab, menurut mereka, sholat gerhana bulan belum pernah ada yang menukilkan pernah dilaksanakan oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, padahal gerhana bulan itu lebih sering terjadi ketimbang gerhana matahari. Mereka juga beralasan bahwa hukum asal sholat yang bukan wajib adalah tidak dilaksanakan secara berjama’ah dan dilakukan di rumah, sebagaimana sabda NabiShallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
صلاة الرجل في بيته أفضل إلا المكتوبة
“Sholatnya seseorang di rumahnya adalah lebih utama, kecuali sholat yang wajib.”
Kecuali, apabila ada dalil khusus yang menunjukkan pelaksanaannya secara berjama’ah, seperti sholat îd, tarawih dan gerhana matahari. Menurut mereka, berkumpul pada malam hari dapat menyebabkan timbulnya fitnah.
Sedangkan Syâfi’iyah dan Hanâbilah berpendapat bahwa sholat gerhana bulan (khusûf) dilakukan secara berjama’ah sebagaimana sholat gerhana matahari (kusûf). Mereka juga melandaskan pendapatnya dengan riwayat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâ yang melakukan sholat gerhana bulan bersama manusia di masjid, beliau berkata :
صليت كما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Saya melakukan sholat sebagaimana saya melihat Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallammelakukannya.”
Sebagaimana pula di dalam hadits Mahmûd bin Lubaid, beliau mengatakan :
فإذا رأيتموها كذلك فافزعوا إلى المساجد
“Apabila kalian melihat gerhana bulan, maka bersegeralah ke masjid.”
Pendapat yang râjih adalah, tidak ada bedanya antara sholat gerhana matahari dan bulan. Disunnahkan untuk melakukannya secara berjama’ah di masjid, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Qudâmah. Walaupun dibolehkan melakukannya secara sendiri-sendiri, namun mengamalkannya secara berjama’ah adalah lebih utama, sebab nabi melakukan sholat gerhana secara berjama’ah dan disunnahkan untuk mengamalkannya di masjid. (al-Mughnî III/323)
Wallôhu a’lam bish showâb.
7. Wanita juga ikut sholat gerhana. Sebagaimana ‘Â`isyah dan Asmâ` Radhiyallâhu ‘anhumâ melakukan sholat gerhana bersama Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam. Dari Asmâ` binti Abî Bakr Radhiyallâhu ‘anhumâ beliau berkata :
أتيت عائشة رضي الله عنها زوج النبي r – حين خسفت الشمس – فإذا الناس قيام يصلون، وإذا هي قائمة تصلي، فقلت: ما للناس؟ فأشارت بيدها إلى السماء، وقالت: سبحان الله، فقلتُ: آية؟ فأشارت أي نعم…
“Saya mendatangi ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ, isteri Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ketika terhadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan sholat. Ketika beliau (‘Â`isyah) turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya : “Kenapa orang-orang ini?”. Beliau mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “maha suci Allôh”. Saya bertanya : “tanda (gerhana)?”, beliau memberikan isyarat untuk mengatakan iya…”
Imam Bukhârî membuat bab di dalam Shahîh-nya “Bâb ash-Sholâh an-Nisâ` ma’a ar-Rijâl fî al-Kusûf” (Bab tentang sholatnya kaum wanita bersama pria di sholat gerhana). Al-Hâfizh mengomentari : “Beliau menunjukkan dengan bab ini untuk membantah orang yang berpendapat dilarangnya wanita sholat gerhana” (Fath al-Bârî II/543). Imam Nawawî mengatakan : “hal ini menunjukkan disunnahkannya sholat gerhana bagi wanita, dan posisinya di belakang kaum pria.” (Syarh Shahîh Muslim VI/462).
8. Sholat gerhana juga dilakukan walaupun dalam keadaan safar. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :
إن الشمس والقمر لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته، ولكنهما آيتان من آيات الله فإذا رأيتموهما فصلوا
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan terjadi bukanlah disebabkan oleh kematian atau kelahiran seseorang, namun keduanya merupakan dua tanda dari tanda-tanda Allôh. Apabila kalian melihatnya, maka sholatlah!.” (HR Bukhârî)
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullâhu berkata :
وتشرع في الحضر والسفر، بإذن الإمام وغير إذنه
“Disyariatkan sholat gerhana baik dalam keadaan menetap maupun bepergian (safar), baik dengan izin imam maupun tanpa izin imam.” (al-Mughnî III/322)
9. Memperpanjang bacaan sholat. Sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallâhu ‘anhumâtentang sifat sholat gerhana Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, yaitu bacaannya sepanjang surat al-Baqoroh kemudian melakukan ruku’ dengan panjang. Lalu beliau berdiri kembali dengan panjang namun tidak sepanjang rakaat pertama, dan melakukan ruku’ dengan panjang namun tidak sepanjang ruku’ pertama.” (Muttafaq ‘alaihi)
Namun, panjangnya sholat hendaklah tidak sampai memperberat makmum. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Baz rahimahullâhu di dalam kumpulan fatwa beliau, Majmû’ Fatâwa wa Maqolât Mutanawwi’ah (XIII/35).
10. Disunnahkan untuk khutbah. Sebagaimana hadits ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ beliau berkata : “Sesungguhnya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam keluar dari kediamannya dan tengah terjadi gerhana matahari saat itu. Kami pun keluar menuju ke kamar dan kami bergabung dengan wanita-wanita lainnya… kemudian Nabi melakukan sholat berdiri yang panjang, lalu ruku’ dengan panjang. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan berdiri cukup panjang namun tak sepanjang berdirinya yang pertama, kemudian beliau ruku’ tak selama ruku’nya yang pertama. Lalu beliau sujud kemudian beliau berdiri kembali dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama namun tak sepanjang rakaat pertama. Kemudian beliau sujud dan matahari pun mulai muncul. Setelah selesai, beliau baik di atas mimbar dan berkata :
إن الناس يفتنون في قبورهم كفتنة الدجال
“Sesungguhnya manusia akan difitnah di dalam kubur mereka sebagaimana fitnahnya Dajjâl”
Di dalam riwayat yang lain. ‘Â`isyah Radhiyallâhu ‘anhâ berkata : “Kami mendengar khutbah beliau selepas sholat gerhana, beliau memperingatkan dari siksa kubur.” (HR an-Nasâ’î).
Beberapa ulama Mâlikiyah, Hanafiyah dan sebagian riwayat dari Hanâbilah berpendapat tidak adanya khutbah sholat gerhana. Menurut mereka, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam melakukan khutbah. Sedangkan Syâfi’iyah dan madzhab ahli hadits menetapkan adanya khutbah.
Imam Nawawî rahimahullâhu berkata :
اختلف العلماء في الخطبة لصلاة الكسوف فقال الشافعي، وإسحاق، وابن جرير، وفقهاء أصحاب الحديث يستحب بعدها خطبتان، وقال مالك وأبو حنيفة: لا يستحب ذلك،ودليل الشافعي الأحاديث الصحيحة،في الصحيحين وغيرهما أن النبي r خطب بعد صلاة الكسوف
“Para ulama berbeda pendapat tentang khutbah sholat gerhana. Asy-Syâfi’î, Ishâq, Ibnu Jarîr danfuqohâ` ahli hadits, menyunnahkan khutbah selesai sholat dengan dua kali khutbah. Sedangkan Mâlik dan Abû Hanîfah tidak menyunnahkan demikian (yaitu tidak menyunnahkan khutbah setelah sholat gerhana). Dalilnya asy-Syâfi’î adalah hadits-hadits yang shahih, diantaranya yang terdapat di dalam Shahîhain dan selainnya, bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallamberkhutbah selepas sholat gerhana.” (Syarh al-Muslim VI/454)
Menceritakan perbedaan pendapat ini, al-Hâfizh Ibnu Hajar setelah menyebutkan ucapan Imam Bukhârî “Bâb Khuthbah al-Imâm fî al-Kusuf” berkata :
“Para ulama berbeda pendapat tentang khutbah sholat gerhana. Asy-Syâfi’î, Ishâq dan mayoritas ahli hadits menyunnahkan khutbah. Ibnu Qudâmah berkata : Belum pernah sampai (riwayat) kepada kami dari Ahmad Rahimahullâhu bahwa ada khutbah sholat gerhana. Penulis al-Hidâyah dari kalangan Hanafiyah mengatakan : “tidak ada khutbah sholat gerhana, sebab belum pernah ada nukilan (dari Rasûlullâh) tentang hal ini. Pendapat ini dibantah sebab banyak hadits yang tsâbit yang menjelaskan adanya khutbah.
Pendapat yang masyhûr menurut Mâlikiyah adalah tidak ada khutbah sholat gerhana, padahal Mâlik sendiri meriwayatkan hadits yang menyebutkan adanya khutbah. Sebagian ulama madzhab Mâliki menjawab bahwa hadits (yang disebutkan oleh Imam Malik) tidak dimaksudkan untuk khutbah secara khusus, namun dimaksudkan untuk menjelaskan bantahan kepada sebagian orang yang meyakini bahwa gerhana terjadi oleh sebab kematian beberapa orang.
Pendapat ini dibantah sebab ada hadits-hadits yang shahih yang menegaskan bahwa yang dilakukan Rasûlullâh adalah khutbah, sebab memiliki syarat khutbah yang meliputi hamdalah, pujian, wejangan dan selainnya, sebagaimana terkandung dalam hadits. Jadi bukan hanya terbatas untuk menjelaskan sebab-sebab terjadinya gerhana. Hukum asal perkara yang disyariatkan adalah diikuti dan pengkhususan tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil…” (Fathal-Bârî II/534)
Pendapat yang râjih adalah, disunnahkannya melakukan khutbah selepas sholat gerhana sebagaimana yang telah tetap di dalam hadits-hadits nabi, seperti yang diriwayatkan dari Asmâ`, Ibnu ‘Abbâs dan ‘Â`isyah, semuanya muttafaq ‘alaihi. Riwayat Muslim dari Jâbir, riwayat Ahmad dan al-Hâkim dari Samurah dan riwayat Ibnu Hibbân dari ‘Amru bin al-‘Ash. Bahkan di dalam riwayat Ahmad, an-Nasâ`î dan Ibnu Hibbân dengan jelas disebutkan di dalam lafazhnya bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbarnya. (Lihat ad-Dirôyah fî Takhrîji al-Hidâyah I/225 dan al-Mughnî karya Ibnu Qudâmah III/328).
Faqîhuz Zamân, al-‘Allâmah Muhammad Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâhu menguatkan pendapat adanya khutbah sekali setelah sholat gerhana, sebagaimana dalam asy-Syarh al-Mumti’ V/259). Demikian pula dengan Imâm Ibnu Baz rahimahullâhu di dalam Majmû’ Fatâwa wa Maqolât Mutanawwi’ah XIII/44.
Sifat khutbah sholat gerhana Nabi
Sifat dan cara khutbah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam khutbah sholat gerhana sebagaimana dalam hadits-hadits yang shahih, terhimpun dalam poin-poin sebagai berikut :
1. Selepas sholat gerhana, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam naik ke atas mimbar. (HR an-Nasâ`î : 1498)
2. Kemudian nabi berkhutbah, mengucapkan hamdalah, memuji dan menyanjung kemudian mengucapkan amma ba’du. (HR al-Bukhârî : 1053)
3. Kemudian Nabi menjelaskan bahwa gerhana matahari adalah dua tanda diantara tanda-tanda Allôh, yang gerhana terjadi bukanlah disebabkan karena kematian atau kelahiran seseorang. Lalu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk berdzikir kepada Allôh, bertakbir, sedekah, membebaskan budak, beristighfar dan berdoa. (Muttafaq ‘alaihi)
4. Beliau juga memerintahkan untuk bersegera sholat ketika terjadi gerhana dan melakukan sholat sampai gerhana selesai. (HR Bukhârî : 1063)
5. Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menceritakan bahwa beliau melihat surga dan neraka. Dimana beliau sampai berkeinginan untuk meraih setandan buah-buahan. Beliau juga menceritakan ngerinya siksa neraka yang apinya saling melalap satu dengan lainnya dan kebanyakan penghuninya adalah wanita. (Muttafaq ‘alaihi)
6. Beliau menceritakan tentang fitnah dan siksa kubur. (Muttafaq ‘alaihi)
7. Beliau juga menceritakan tentang hal-hal lain yang bermaksud membuat manusia menjadi takut dan ingat kepada Rabb-nya. Sebagaimana dalam hadits-hadits lainnya yang shahih.
11. Bersegera melakukan amal shalih, seperti bedzikir, doa, istighfâr, takbir, membebaskan budak, bersedekah, sholat dan ber-ta’awwudz (memohon perlindungan) dari siksa neraka dan kubur. Hadits-haditsnya banyak, sebagiannya telah disebutkan di atas.
Jadi, sungguh ironi apabila kita menyibukkan diri dengan perbuatan sia-sia, atau bahkan melakukan kemaksiatan tatkala terjadinya gerhana. Padahal, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, manusia yang paling mulia, merasa takut dan bersegera untuk sholat serta banyak berdzikir dan melakukan amal-amal shalih lainnya. Wallôhul Musta’an
Sifat Sholat Gerhana Rasûlullâh
Para ulama berbeda pendapat tentang sifat sholat gerhana. Hanâbilah, Syâfi’îyah dan Mâlikiyah berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat, dan tiap rakaatnya terdiri dari dua kali berdiri, dua kali membaca al-Qur`ân, dua kali ruku’ dan dua kali sujud. Adapun AbûHanîfah, ats-Tsaurî dan an-Nakhâ’î serta penduduk Kufah, berpendapat bahwa sholat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat dengan sifat sama seperti sholat sunnah lainnya, yaitu satu kali ruku’, berdiri dan membaca al-Qur`ân. Namun pendapat mereka ini menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Lihat Syarh Muslim VI/450, Nailul Authâr II/637 dan al-Mughnî I/450).
Ada pula riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sholat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat, tiap rakaatnya 3 kali ruku’, riwayat lain menyatakan 4 kali ruku’, riwayat lain menyatakan 5 kali ruku’. Ini semua, menurut Imam Ibnul Qoyyim adalah tidak benar. Beliau rahimahullâhu berkata :
لا يصححون التعدد لذلك، كالإمام أحمد، والبخاري، والشافعي، ويرونه غلطًا)). وذهبت الحنفية إلى أنها تصلى ركعتين كسائر النوافل
“Bilangan sifat tersebut tidak dibenarkan, diantaranya oleh Imam Ahmad, Bukhârî dan Syâfi’î, mereka berpandangan hadits-haditsnya gholath/keliru.” (Zâdul Ma’âd 453).
Sebagian ulama mencacat riwayat-riwayat ini dan mengatakan hukumnya syâdz (ganjil), sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fath (II/532) dan Syaikhul Islâm dalamFatâwa-nya (17-18/18).
Adapun yang râjih insyâ Allôh, adalah sholat dua rakaat yang tiap rakaatnya terdiri dari dua ruku’, dua kali berdiri dan membaca al-Qur`ân dan dua kali sujud. Berikut ini adalah sifat sholat gerhana Rasûlullâh sebagaimana yang ma’tsur di dalam hadits-hadits yang shahih :
1. Bertakbir dengan takbîratul Ihrâm.
2. Membaca doa istiftah atau iftitah.
3. Ber-ta’awwudz atau mengucapkan A’ûdzu billâhi min asy-Syaithân ar-Rajîm.
4. Mengucapkan Bismillâhi ar-Rahmân ar-Rahîm.
5. Membaca surat al-Fâtihah dan surat yang panjang secara keras (jahr).
6. Bertakbir kemudian ruku’ yang cukup lama sembari membaca doa ruku’ secara berulang-ulang.
7. Bangkit sembari mengucapkan Sami’a Allôhu liman Hamidahu, dan mengucapkan Robbanâ walaka al-Hamd.
8. Membaca surat al-Fâtihah dan surat yang panjang secara keras (jahr), namun tidak sepanjang surat yang pertama.
9. Bertakbir kemudian ruku’ yang cukup lama –namun tidak selama ruku’ yang pertama- sembari membaca doa ruku’ secara berulang-ulang.
10. Bangkit sembari mengucapkan Sami’a Allôhu liman Hamidahu, dan mengucapkan Robbanâ walaka al-Hamd. Dan yang lebih benar adalah memanjangkan i’tidâl kurang lebih sama dengan panjangnya ruku’.
11. Bertakbir lalu sujud yang lama sebagaimana lamanya ruku’ pertama.
12. Bertakbir, kemudian bangkit ke posisi duduk diantara dua sujud. Yang benar adalah memanjangkan duduk ini yang panjangnya sama dengan sujud.
13. Bertakbir lalu sujud yang lama, namun lamanya tidak seperti sujud pertama.
14. Bertakbir, kemudian bangkit berdiri ke rakaat kedua, dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama. Yaitu, melakukan dua ruku’ dan dua sujud, dimana ruku’ dan sujud pertama lebih lama daripada ruku’ dan sujud kedua.
15. Lalu duduk tasyahhud dan mengucapkan sholawat atas nabi.
16. Lalu melakukan dua salam sembari menengok ke kanan dan kiri.
Demikianlah sifat sholat gerhana matahari, sebagaimana diriwayatkan oleh para imam ahli hadits, dan disebutkan oleh Syaikh Sa’îd Wahf al-Qohthônî dalam buku Sholâh al-Kusûf fî Dho’i al-Kitâb was Sunnah. Dan alhamdulillah penulis banyak mengambil faidah pembahasan dari buku tersebut di atas, dengan beberapa buku lainnya.
Demikianlah sekelumit yang bisa penulis susunkan di sini. Semoga dapat memberikan manfaat baik bagi diri penyusun sendiri, keluarganya maupun seluruh kaum muslimin. Jika ada masukan, saran, kritik yang membangun atau nasehat, jangan segan untuk mengirimkan ke : admin@abu-salma[dot]co.cc atau abu.salma81@gmail[dot]com.
Surabaya, 24 Muharram 1430 H