Selasa, 29 Maret 2011

Keutamaan Kalimat Laa Ilaha Illallah



فضل لا إله إلا الله
Ceramah  tentang Keutamaan Kalimat Laa Ilaha Illallah Ini disampaikan oleh Ustadz Abdurrahman bin Muhammad Musa Alu Nashr
dan diterjemahkan oleh Ustadz Mizan Qudsi, Lc, di  Masjid Fauzan al-Fauzan Lombok Timur
pada hari sabtu 26-03-2011, ba’da Maghrib. Mudah-mudahan bemanfaat bagi kita semua. Silahkan klik url di bawah ini.

Senin, 14 Maret 2011

KEPADA PEMILIK HATI YANG BERSIH


     


Kata ini banyak sekali diucapkan oleh kebanyakan orang  tatkala ditanya:

مجموعة أملي الجنة الإسلامية·        wahai saudaraku  kenapa engkau tidak sholat?! mereka menjawab : hatiku bersih bahkan lebih bersih dari hati orang-orang  yang mengerjakan sholat.

مجموعة أملي الجنة الإسلامية   wahai saudaraku kenapa engkau tidak menunaikan zakat?! mereka akan menjawabmu: hatiku bersih, dan zakat bukanlah ukuran untuk kesucian hati.

wahai saudariku kenapa engkau tidak berjilbab?! mereka akan menjawabmu: hatiku bersih, dan jilbab bukanlah ukuran untuk adab, dan saya lebih mempunyai adab ketimbang orang yang berjilbab..

.        
     Maka kita mengatakan kepada pemilik hati yang bersih ini, -sebagaimana perasangkaan mereka-, apakah hati kalian lebih bersih dari hati Abu Thalib paman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ?!  yang mana Abu Thalib tidak henti-hentinya membela dan memperjuangkan serta melindungi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dari gangguan di jalannya, dan juga melindungi Beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam  dari gangguan kezhaliman suku Quraisy yang terus menerus mengganggu  sampai menjelang wafatnya
         




.


          Ketika menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menemuinya lalu berkata: Wahai pamanku katakanlah “
لا إله إلا الله

Aku akan bersaksi dengannya pada hari kiamat ”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam  berkata : Kalau bukan karena takut  kepada orang-orang Quraisy yang akan mencemoohkanku, mereka mengatakan: Tidaklah ada yang mendorongnya kecuali kecemasan akan kematian, yang dengannya akan dapat menyenangkanmu,  dan  tidaklah  aku mengatakan:
لا إله إلا الله
kecuali dengannya akan dapat menyenangkanmu.  Lalu Allah Azza wa jalla menurukan ayat:

 إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“ Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk ”.( QS. al-Qashash: 56 ).

Maka kelak Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam  memberikan syafa’at kepadanya (dengan izin Allah –pent), dan menjadikannya sebagai penduduk neraka yang paling ringan siksaannya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوْضَعُ فِي أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَةٌ يَغْلِي مِنْهَا دِمَاغُهُ. 
"Sesungguhnya azab yang paling ringan yang menimpa penduduk neraka pada Hari Kiamat adalah apabila bara api diletakkan di lekuk kedua telapak kaki seseorang, maka otaknya akan mendidih." (HR. al-Bukhari ( 6561) dari Nu’man ibnu Basyir).

مجموعة أملي الجنة الإسلامية
مجموعة أملي الجنة الإسلاميةWahai orang yang suka meninggalkan sholat!, Wahai orang yang enggan berzakat, apakah kalian memberikan kepada agama ini lebih besar dari apa yang telah diberikan oleh Abu Thalib paman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam !!
  
·        Apakah pemilik hati yang bersih adalah orang yang berpaling dari mengingat Allah?!

·        Apakah pemilik hati yang bersih adalah orang yang enggan berzakat?!

Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى, 
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا, قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
  
“ Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta".berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam Keadaan buta, Padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?"Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". (QS. Thaha:124-126).

  dan firmannya:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ  إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ , فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ ,
 عَنِ الْمُجْرِمِينَ , مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ , قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ .
 “ Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, kecuali golongan kanan, berada di dalam syurga, mereka tanya menanya, tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa,"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat (QS. al-Muddatsir:38-41).

    Apakah kamu tau? Bahwa  orang yang meninggalkan sholat, apabila melangsungkan akad nikah, maka akadnya bathil (tidak sah), apabila meninggalkan  sholat sesudah dia menikah maka wajib difaskh (dibatalkan akadnya) karena dia kafir, dan tidak boleh dinikahkan dengan wanita muslimah. Tidak disholatkan apabila meninggal tidak, dimandikan dan juga tidak dikafani, dikubur dengan pakainnya, dan tidak dikubur dikuburan kaum muslimin dan dia diharamkan untuk mendapatkan surga, dan kelak dia akan kekal di neraka bersama Qorun, Haman, Ubay bin Kholaf dan juga para pemimpin kekufuran lainnya, apakah setelah ini semua, kalian masih mengklaim  bahwa kalian adalah pemilik hati yang bersih??!

Dan untukmu wahai saudariku….( Semoga Allah menjagamu )

     Apakah orang yang berhati bersih itu terhadap perintah Allah dia melanggarnya, dan lebih  mengikuti  jalan syaithan serta tenggelam mengikuti hawa nafsunya?! Sungguh kehidupan barat telah menipu kalian dengan mengatasnamakan kebebasan, padahal Islamlah yang pertama kali membebaskan kalian (dari kedzaliman kaum jahiliyah terhadap wanita -pent). Kalian ditipu dengan gaya dan mode palsu, dengan bertaqlid (meniru) kebiasaan barat yang menyimpang  dan menyusup kedalam masyarakat kita yang terjaga ini.
مجموعة أملي الجنة الإسلامية
Hindari olehmu wahai saudariku tercinta,
Tidak  boleh bagi wanita untuk memakai minyak wangi untuk keluar ke pasar atau ke masjid.

Maka kalian keluar dari rumah dengan memakai minyak wangi , bersolek yang membuat  hati para lelaki tergugah dan tertarik kepadamu, bukankah Allah telah berfirman:

مجموعة أملي الجنة الإسلاميةيَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“ Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab:59).

Apakah pakaian yang membentuk lekukan tubuh, dan jilbab yang bermodel, atau kerudangan yang membentuk lekukan tubuh yang dapat memikat atau menimbulkan fitnah disebut dengan hijab?! Bukan ini hijab yang diinginkan Allah Azza Wa jalla.
Akan tetapi Hijab adalah sesuatu yang dapat menutupi aurat, menjaga, malu dan suci serta bersih.

مجموعة أملي الجنة الإسلامية
Allah Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
 “ Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. an-Nur:31).

    Seyogyanya engkau wahai saudariku muslimah konsisten dengan mengikuti syariat Allah yang telah diwasiatkannya kepadamu, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu yang dapat menggelincirkanmu dari jalan Islam yang terang. 
Islam adalah agama yang menjaga hak-hak kalian, menjamin kemuliaan, dan menjaga serta mensucikan kalian dari para jelmaan serigala yang berbentuk manusia.
 
Marilah kita wahai saudariku muslimah merenungi hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang penzina.” (HR. an-Nasai, Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ahmad).

 Wahai saudara-saudaraku yang mulia….

Sesungguhnya diantara ciri atau tanda hati yang bersih itu adalah bersegera menjalankan segala perintah Allah Ta’ala dan menjauhi segala larangan-Nya. Dan kondisi seseorang tersebut tidak bertentangan dengan hati dan agamanya. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. al-Anfaal:2).

Pintu Taubat masih terbuka lebar-lebar, dan orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang yang tidak memiliki dosa, selama masih ada waktu dan kesempatan bersegeralah bertaubat, maka bertaubatlah sebelum berlalu masanya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّـهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّـهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“ dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” ( Qs. Ali Imran:135).



   Hendaknya kita muhasabah diri sebelum nanti dihisab (pada hari kiamat), dan menimbang amalan kita sebelum ditimbang (pada hari kiamat), Pada hari ini (di dunia) kita beramal dan tidak ada hisab, adapun besok (pada hari kiamat) kita dihisab tanpa ada amal.

مجموعة أملي الجنة الإسلامية 

Diterjemahkan oleh Ari Mardiah Joban dari  Majalah Huriyah an-Nisaiyah
Muroja’ah oleh Ustadz Fuad Hamzah Baraba’, Lc



Sabtu, 12 Maret 2011

Kewajiban Fidyah Bagi Wanita Hamil dan Wanita Menyusui


Pertanyaan : Apakah wanita yang hamil dan wanita menyusui wajib mengqodho puasa yang ditinggalkan ataukah cukup hanya dengan membayar fidyah tanpa mengqodho?


Jawab :

Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan kepada Penguasa alam semesta ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga beliau dan seluruh sahabat beliau.

Para ulama telah bersilisih pendapat tentang permasalahan : "Apakah wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan puasa karena udzur, harus mengqodlo atau cukup membayar fidyah saja?".

Terdapat beberapa pendapat dalam permasalahan ini, hanya saja pada kesampatan ini penulis hanya coba memaparkan dua pendapat yang terkuat dari sekian pendapat para ulama dalam permasalahan ini. Akan tetapi sebelumnya penulis ingin mengingatkan kepada para pembaca sekalian bahwasanya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah dikalangan para ulama, bagaimanapun penulis berusaha memilih pendapat yang terkuat, toh permasalahannya tetap merupakan permasalahan khilaf yang mengharuskan kita untuk berlapang dada dan bertoleransi dengan pendapat yang lain, tanpa ada sedikitpun dalam hati kita pikiran yang negatif terhadap orang yang menyelisihi pendapat kita, terlebih lagi menuduh orang yang menyelisihi kita hanya mengikuti hawa nafsu atau hanya mencari-cari keringanan. Karena tidak ada nash yang tegas dalam permasalahan ini. Syaikh Al-'Utsaimin berkata, "Dan sebab khilaf adalah tidak adanya nash yang tegas yang shahih dan jelas" (As-Syarhul Mumti' 6/350)

Pendapat Pertama


Keduanya wajib mengqodho tanpa harus membayar fidyah. Dan hal ini berlaku secara mutlaq apakah keduanya berbuka karena khawatir terhadap diri mereka sendiri ataukah karena khawatir terhadap anak-anak mereka ataukah karena keuda-duanya.

Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hanafi (Lihat Al-Mabshuuth 3/99 dan Badaai' As-Shonaai' 2/97), dan pendapat ini sangatlah kuat mengingat kekuatan dalil yang ada, oleh karenanya pendapat inilah yang dipilih oleh mayoritas para ulama di zaman kita, seperti Syaikh Bin Baaz (lihat majmu' al-fatawa 15/225) , Syaikh Utsaimin (lihat Asy-Syarhul Mumti' 6/220), dan Al-Lajnah Ad-Daimah (lihat fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 10/226). Bahkan Ibnu Qudamah berkata, "Wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir terhadap diri mereka sendiri (bukan kawatir terhadap anak mereka-pent) maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka dan wajib bagi mereka berdua untuk qodho saja, dan kami tidak mengetahui adanya khilaf diantara para ahli ilmu dalam hal ini" (Al-Mughni 4/393-394). Meskipun penafian khilaf yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah berkaitan dengan kondisi khusus -yaitu jika keduanya berbuka karena kawatir terhadap diri mereka berdua sendiri-, akan tetapi ini jelas bertentangan dengan pendapat yang menyatakan bahwa keduanya hanya cukup membayar fidyah secara mutlaq tanpa harus mengqodho baik khawatiran karena diri mereka sendiri atau karena anak-anak mereka atau karena kedua-duanya.

Kesimpulan dalil yang dikemukakan oleh para ulama yang memilih pendapat yang pertama ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

Sesungguhnya Allah meringankan bagi seorang musafir setengah sholat dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil
.
(Hadits dengan lafal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 31/392 no 19047, Ibnu Majah dalam sunannya 1/533 no 1667, dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro 4/231 )

Sisi pendalilan di sini, bahwasanya Allah menggandengkan hukum wanita hamil dan wanita menyusui dengan musafir dalam hal sama-sama diberi keringanan untuk berbuka (tidak berpuasa), hal ini menunjukan bahwa hukum antara wanita menyusui dan wanita hamil juga sama dengan hukum musafir. Jika musafir wajib mengqodho puasa yang ditinggalkannya dan tidak membayar fidyah maka demikian juga dengan wanita hamil dan wanita menyusui.


Kedua : Dalil qiyas, dan ini merupakan dalil terkuat, karena kondisi wanita hamil dan wanita menyusui adalah kondisi seseorang yang mendapatkan suatu udzur yang kelak akan hilang udzur tersebut. Hal ini sebagaimana kondisi seorang musafir yang memiliki udzur safar yang tentunya memberatkan, dan suatu saat dia akan berhenti dari safarnya sehingga hilang udzurnya. Sebagaimana juga seorang yang sakit, ia memiliki udzur sakit dan suatu saat dia akan sembuh sehingga udzurnya hilang. Maka demikian juga dengan wanita hamil dan menyusui, suatu saat udzur mereka akan hilang, oleh karenanya mereka lebih pantas untuk diqiyaskan kepada orang musafir dan orang sakit. Berkata As-Sirokhsi, "Karena wanita yang hamil atau wanita yang menyusui mendapatkan "haroj" (kepayahan/kesulitan) tatkala puasa, dan kesulitan merupakan udzur untuk berbuka sebagaimana orang sakit dan musafir, dan wajib bagi wanita hamil atau menyusui qodho' tanpa bayar fidyah" (Al-Mabshuuth 3/99, Lihat juga penjelasan Syaikh al-'Utsaimin dalam Majmuu' Fataawa beliau 19/165 dan juga penjelasan Syaikh Bin Baaz dalam Majmu'' fataawaa beliau 15/225, 227)

Al-Kaasaani berkata, "Adapun kewajiban membayar fidyah maka syaratnya adalah ketidakmampuan utnuk mengqodho puasa, yaitu ketidakmampuan yang tidak bisa diharapkan akan hilang hingga sampai meninggal dunia. Karenanya fidyah tidak wajib kecuali hanya pada manula. Tidak wajib fidyah bagi orang sakit dan musafir, dan tidak juga wajib fidyah bagi wanita hamil dan wanita menyusui" (Badaai' As-Shonaai' 2/105)

Bahkan Al-Kaasaani berkata tentang firman Allah :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS 2:184)

Beliau berkata, "Bukanlah yang dimaksud dalam ayat ini dzat sakit, karena orang yang sakit yang tidak mendapat kemudhorotan karena puasa maka tidak boleh baginya untuk berbuka. Maka penyebutan sakit di sini adalah kinayah untuk kondisi yang terdapat pada seseorang yang jika ia berpuasa maka bisa mendapatkan kemudhorotan. Dan kondisi ini juga terdapat pada wanita hamil dan wanita menyusui, maka keduanya masuk (dalam ayat ini-pent) untuk mendapatkan keringanan berbuka" (Badaai' As-Shonaai' 2/97)




Pendapat Kedua

Keduanya hanya wajib membayar fidyah secara mutlaq tanpa harus mengqodho. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas–radhiollahu 'anhum-

Ibnul Mundzir berkata, "Para ulama dalam masalah ini ada empat madzhab.

- Ibnu Umar, Ibnu Abaas, dan Sa'iid bin Jubair berkata, "Keduanya (wanita hamil dan wanita menyusui) berbuka dan memberi makan (fidyah), dan tidak wajib qodho atas keduanya.

- 'Atoo bi Abi Robaah, Al-Hasan, Ad-Dhohaak, An-Nakho'i, Az-Zuhri, Robi'ah, Al-Auzaa'i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu 'Ubaid, Abu Tsaur, dan Ashaab Ar-Ro'yi berpendapat mereka berdua berbuka dan mengqoho tanpa bayar fidyah. Hukum keduanya seperti hukum orang sakit.

- As-Syafi'i dan Ahmad berkata : Keduanya berbuka dan mengqodho serta membayar fidyah. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Mujahid.

- Malik berkata : wanita hamil berbuka dan mengqodho tanpa fidyah dan wanita menyusui berbuka dan mengqoho serta membayar fidyah" (sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dalam Majmu' Sarhul Muhadzdzab 6/275)


Pendapat kedua inilah yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani dan diikuti oleh kedua murid beliau Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali (lihat sifat shoum An-Nabi hal 80-85)

Kesimpulan argument yang diajukan oleh para pemilik pendapat kedua ini adalah bahwasanya pendapat ini adalah pendapat sebagian sahabat diantaranya Ibnu Abbas. Beliau pernah berkata

إذا خَافَتِ الحاملُ على نفسها والمرضِعُ على ولدها  في رمضان : يُفطران ويُطعمان مكانَ كل يومٍ مسكيناً، ولا يقضيان صوماً

"Jika seorang wanita hamil mengkawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkawatirkan anaknya di bulan Ramadhan (jika mereka berdua berpuasa) maka mereka berdua berbuka dan membayar fidyah untuk setiap hari dengan memberi makan kepada seorang miskin, dan keduanya tidak mengqodho."
 (Diriwayatkan oleh At-Thobari no 2758. Syaikh Al-Albani berkata, "Isnadnya shahih sesuai dengan persyaratan Imam Muslim lihat al-Irwaa 4/19)

Bahkan Ibnu Abbas menganggap bahwa wanita hamil dan wanita menyusui sama hukumnya seperti orang manula yang berat melakukan puasa, dimana mereka hanya diwajibkan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqodho. Beliau pernah melihat wanita yang hamil atau menyusui maka beliau berkata,

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

"Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu."
 (Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya 11/227 no 4996 dan Ad-Daruqthni dalam sunannya 3/196 no 2382 dan Ad-Daruquthni berkata, "Ini adalah isnad yang shahih")
Beliau juga berkata,

الحاملُ والمرضعُ تفطر ولا تَقٌضِي

Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka dan tidak mengqodho (Diriwayatkan oleh Ad-Dahruqthni dalam sunannya 2/196 no 2385, dan dishahihkan oleh beliau)

Ibnu Umar juga berpendapat seperti pendapat Ibnu Abbas.
أَنَّ امْرَأَةً سَأَلَتْهُ وَهِيَ حُبْلَى فَقَالَ أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ، وَلاَ تَقْضِي

Ada seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, maka Ibnu Umar berkata, "Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin untuk mengganti setiap harinya, dan janganlah mengqodhlo" (HR Ad-Daruquthni dalam sunannya 2/196 no 2388. Abdurrozzaq dalam mushonnafnya 4/217 no 7558, 7559, dan 7561 juga meriwayatkan atsar dari Ibnu Umar dengan makna yang sama dengan riwayat diatas)

Dan tidak diketahui adanya sahabat yang lain yang menyelisihi Ibnu Abbas. Bahkan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Umar. Dan perkataan seorang sahabat adalah sebuah hujjah selama tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi dan tidak menyelisihi nash. Ibnu Qudamah berkata, "Tidak ada dari para sahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu Abbas dan Ibnu Umar)" (Al-Mughni 4/394, meskipun Ibnu Qudamah membawakan atsar Ibnu Abbas dan Ibnu Umar pada jika wanita hamil dan menyusui berbuka karena kawatir kepada anak mereka)

Dan perkataan seorang sahabat merupakan hujjah selama tidak ada sabahat lain yang menyelishi, hal ini disepakati oleh para empat imam madzhab (adapun tahqiq dalam permasalahan ini para pemabaca bisa merujuk kepada sebuah bahasan yang ditulis oleh DR Tarhiib Ad-Dausari dengan judul Hujjiyyatu qoulus Shohaabiy 'inda As-Salaf, dan sebelumnya silahkan membaca penjelasan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I'laamu' Muwaqqi'iin 5/548 dst).  Syaikh Al-'Utsaimin berkata, "Dan perkataan (pendapat) seorang sahabat adalah hujjah selama tidak menyelisihi nash" (As-Syarhul Mumti' 6/446). Kita tidak mengatakan bahwa pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dihukumi marfu' kepada Nabi, karena kalau dihukumi marfu' maka tentu jelas kekuatan hukumnya sebagaimana hadits Nabi. Akan tetapi kita katakan bahwa pendapat mereka berdua merupakan ijtihad, dan ijtihad itulah yang dikenal oleh para ulama ushul dengan istilah qoulus shohaabiy, yang hal itu merupakan hujjah jika tidak ada sahabat lain yang menyelisihi.



Renungan :


Pertama : Dari penjelasan diatas maka jelas bahwa dalil pendapat yang pertama yang paling kuat adalah dalil qiyas, yaitu mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan musaafir, dengan 'illah yang sama yaitu mereka semua sama-sama memiliki udzur yang bisa hilang dikemudian hari.

Kedua : Adapun dalil dari hadits Anas yang dijadikan hujjah oleh pendapat pertama, sisi pendalilannya adalah dikenal oleh para ahli usul dengan istilah "Dalaalatul iqtiroon", dan sisi pendalilan seperti ini adalah pendalilan yang lemah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ahli ushul.

Bukankah jika ada seseroang berkata, "Allah telah menggugurkan kewajiban puasa bagi seroang yang sakit dan orang yang tua yang tidak mampu berpuasa", maka tentu ini adalah perkataan yang benar, namun tidak melazimkan bahwa keduanya (orang sakit dan orang tua) sama dalam hal membayar puasa mereka yang batal. Karena orang yang tua dengan membayar fidyah sedangkan orang yang sakit dengan mengqodho. Oleh karenanya hadits Anas di atas juga dijadikan dalil oleh para pemihak pendapat yang kedua (lihat At-Tarjiih fi Masaaili As-Shiyaam waz Zakaat hal 62), karena telah datang satu riwayat dari hadits Anas tersebut dengan lafal

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ ، أَوِ الصِّيَامَ

Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah sholat bagi musafir dan menggugurkan puasa bagi wanita hamil atau menyusui.

(HR Ahmad no 19047 dan Ibnu Majah no 1667)

Kalau ada  yang berkata, "Bukankah Allah menggugurkan setengah sholat (2 rakaat) bagi orang musafir dan Allah tidak memerintahkan untuk mengqodho'nya?, maka demikian juga dengan pengguguran puasa bagi wanita hamil dan menyusui tidak perlu diqodho sebagaimana setengah sholat yang tidak perlu diqodho oleh musafir jika telah selesai safarnya". Maka kita katakan ini juga merupakan pendalilan dengan dalaalaatul iqtiroon, dan pendalilan ini lemah.

Ketiga : Tidak bisa dikatakan bahwa pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar sebagai ijmaa' sukuuti, mengingat bahwasanya tidak disebutkan bahwa pendapat mereka tersohor dikalangan para sahabat dan tidak ada sahabat yang menyelisihi. Yang benar kita katakana bahwa tidak ada dalil yang menunjukan bahwa pendapat mereka berdua tersohor di kalangan para sahabat, namun juga tidak sampai kepada kita dengan riwayat yang shahih ada sahabat lain yang menyelisihi mereka dalam permasalahan ini.

Keempat : Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas memerintahkan wanita hamil dan wanita menyusui untuk mengqodho maka riwayat tersebut tidaklah shahih.

Riwayat tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam mushonnaf beliau bahwasanya Ibnu Abbas berkata
تُفْطِرُ الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَتَقْضِيَانِ صِيَاماً وَلاَ تُطْعِمَانِ

"Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka di bulan Ramadhan dan keduanya mengqhodo puasa mereka tanpa memberi makan (tanpa fidyah)"
 (Al-Mushonnaf 4/218 no 7564)

Riwayat ini adalah riwayat yang lemah atau syadz karea beberapa hal;

Pertama : Riwayat ini adalah riwayat 'an'anah Ibnu Juraij, dan Ibnu Juraij adalah mudallis. Karena Abdurrozzaq berkata :

عن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس
Dari Ibni Juraij dari 'Athoo' dari Ibnu 'Abaas
Ibnu Juraij -yaitu Abdul Malik bin Abdil Aziz bin Juraij- dimasukkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar pada tobaqoh (tingkatan) ke tiga dari tobaqoot al-Mudallisiin (Tingkatan-tingkatan para mudallis). Ibnu Hajar telah membagi para mudallis menjadi lima tingkatan, dan tingkatan yang ketiga adalah
مَنْ أَكْثَرَ مِنَ التَّدْلِيْسِ فَلَمْ يَحْتَج الأَئِمَّةُ مِنْ أَحَادِيْثِهِمْ إِلاَّ بِمَا صَرَّحُوا فِيْهِ بِالسَّمَاعِ.

"Yaitu para mudallis yang banyak melakukan tadlis sehingga para imam tidak berhujjah dengan hadits-hadits mereka kecuali jika mereka menjelaskan dengan As-Samaa' (yaitu tatkala meriwayatkan menyebutkan lafal yang menunjukan adanya pendengaran langsung seperti سَمِعْتُ -pent). (Tobaqootul Mudallisiin hal 13)

Adapun riwayat 'an'anah nya Ibnu Juraij dari 'Athoo' maka para ulama telah khilaf apakah diterima secara muthlaq atau ditolak secara muthlaq mengingat Ibnu Juraij banyak meriwayatkan hadits dari 'Atoo' bin Abi Robaah. (lihat al-Irwaa' 3/97). Akan tetapi yang lebih rojih bahwasanya 'an'anah ibnu Juraij tidak diterima secara mutlaq kecuali jika "sorroha bit tahdiits" karena sebab-sebab berikut ini

- Ibnu Juraij banyak melakukan tadlis terhadap rawi-rawi yang lemah dan majhul. Ibnu Hajar berkata tentangnya, "An-Nasaa'i dan yang lainnya mensifati Ibnu Juraij dengan tadlis. Ad-Daaruquthni berkata, "Seburuk-buruk tadlis adalah tadlisnya Ibnu Juraij, karena tadlisnya buruk, ia tidak mentadlis kecuali pada hadits-hadits yang ia dengarkan dari orang yang majruh" (Tobaqootul Mudallisiin hal 41). Imam Ahmad berkata, "Jika Ibnu Juraij berkata , "Qoola fulaan wa qoola fulaan", maka ia akan mendatangkan hadits-hadits yang mungkar.  Dan jika ia berkata, "Akhbaroni wa sami'tu" maka cukuplah engkau dengan hal itu (artinya terimalah riwayatnya-pent)" (siyar A'laam An-Nubalaa' 6/328). Imam Ahmad juga berkata, "Jika Ibnu Juraij berkata, "Qoola fulaan" maka hati-hatilah" (siyar A'laam An-Nubalaa' 6/328)

- Ternyata Ibnu Juraij terkadang Ibnu Juraij berpendapat bolehnya menggunakan sigoh "Akhbaroni" dan "Haddatsani" pada periwayatan dengan ijaazh dan munaawalah

(lihat kitab At-Tadliis fil hadiits karya DR Musfir Ad-Dumaini hal 383-386). Bahkan DR Musfir Ad-Dumaini memasukkan Ibnu Juraij dalam tingkatan ke empat dari para tukang tadliis yang disifati oleh Ibnu Hajar, "Para perawi yang telah disepakati oleh para ulama bahwasanya hadits-hadits (periwayatan) mereka tidak bisa dijadikan hujjah kecuali jika mereka menjelaskan (dengan shigoh periwayatan yang menunjukan adanya pendegnaran secara langsung-pent), karena banyak tadlis mereka lakukan terhadap rawi-rawi yang lemah dan majhul" (Tobaqootul Mudallisiin hal 14)

Kedua : Jika berpendapat bahwa riwayat 'an'anah Ibnu Juraij dari 'Athoo itu adalah riwayat yang shahih maka kita katakan bahwa riwayat ini syadz karena dua hal

-  Riwayat ini bertentangan dengan riwayat yang ma'ruf dari Ibnu Abbas yang shahih dari banyak jalur (sebagaimana telah dijelaskan penjang lebar tentang jalan-jalan riwayatnya oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul Golil 4/17)

-  Hampir seluruh fuqohaa' dari empat madzhab dari dulu hingga sekarang tidak ada yang mengisyaratkan kepada riwayat Ibnu Juraij di atas, bahkan mereka semua mengakui bahwa pendapat Ibnu Abbas dalam masalah ini adalah wanita hamil dan wanita menyusui cukup membayar fidyah dan tidak perlu mengqodho. Demikian juga para ulama yang menyebutkan tentang khilaf dalam permasalahan ini, mereka mengakui akan pendapat Ibnu Abbas dari riwayat yang shahih bahwasanya wanita hamil dan menyusui hanya cukup membayar fidyah tanpa qodho

Oleh karenanya hingga saat ini penulis belum menemukan ada ulama yang berkata bahwa "riwayat Ibnu Juraij di atas shahih dan kita tidak tahu mana yang lebih dahulu dari pendapat Ibnu Abbas, apakah wanita  hamil dan menyusui cukup membayar fidyah tanpa qodho?, ataukah pendapatnya : wanita hamil dan menyusui hanya mengqodho tanpa membayar fidyah"


Kesimpulan

Dari sisi dalil maka penulis lebih condong untuk memilih pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwasanya wanita yang hamil dan menyusui hanya diwajibkan membayar fidyah tanpa harus mengqodho mengingat bahwa perkataan seorang sahabat merupakan hujjah selama tidak ada sahabat lain yang menyelisihi. Dan hujjah ini lebih kuat daripada hujjah mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan musafir dan orang sakit. Dan hingga saat ini penulis belum menemukan ada sahabat yang lain –yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih- yang menyelisihi Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.

Akan tetapi jika ternyata diketahui ada sabahat lain yang menyelisihi Ibnu Abbas dan Ibnu Umar maka gugurlah pendalilan para pemihak pendapat kedua, dan kuatlah dalil qiyas yang diekmukakan oleh para pemihak pendapat yang pertama.

Kembali lagi penulis mengingatkan bahwa permasalahannya adalah permasalahan khilaf yang kuat yang tidak ada nash yang tegas dalam permasalaha ini. Syaikh Al-'Utsaimin berkata, "Dan sebab khilaf adalah tidak adanya nash yang tegas yang shahih dan jelas" (As-Syarhul Mumti' 6/350)

Wallahu A'lamu bis Showaab.

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 09 Syawal 1431 H (18/09/2010)18 September 2010

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com



Kitab Rujukan


1. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq Syu'aib Al-Arnauth, 'Adil Mursyid, dll, Isyroof : DR Abdulloh bin Abdul Muhsin At-Turki, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan pertama (1421 H-2001 M)

2. Sunan Ibni Maajah, tahqiq : Muhammad Fu'ad Abdul Baaqi, Darul Fikr

3. As-Sunan Al-Kubro, Al-Baihaqi, Mathba'ah Majlis Daairotil Ma'aarif al-'Utsmaaniah (1352 H)

4. As-Syarhul Mumti' 'Alaa Zaadil Mustaqni', Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, Daar Ibnul Jauzi, cetakan pertama (1424)

5. Majmu' Fatawa wa Rosaail Syaikh Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin, jam' wa tartiib : Fahd bin Naashir bin Ibroohiim As-Sulaimaan, Daar At-Tsuroyyaa

6.  Syarh Az-Zarksyi 'alaa Mukhtshor Al-Khiroqi fil Fiqh 'alaa madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq : Abdullah bin Abdirrohman Al-Jibriin, Maktbah Al-'Ubaikan, Cetakan pertama (1413 H-1993 M)

7.  Al-Mabshuuth, Syamsuddin As-Sirokhsi, Darul Ma'rifah

8.  Badaai' As-Shonaai' fi tartiib As-Syarooi', 'Alaauddiin Abu Bakr bin Mas'uud Al-Kaasaani Al-Hanafi, Daarul Kutub al-'Ilmiyyah, cetakan kedua (1406 H-1986 M)

9.  Al-Majmuu' Syarhul Muhadzzab, An-Nawawi, tahqiq : Muhammad Najiib Al-Muthi'iy, Maktabah Al-Irsyaad

10. Al-Mushonnaf li Abdirrozzaq, Abu Bakr Abdurrozzaq bin Hammaam As-Shon'aani, tahqiq : Habiiburrohmaan Al-A'dzhomi, dari Manyuroot Al-Majlis  Al-'Ilmiy

11. Sifat shoumin Nabiy, Ali hasan dan Salim Al-Hilali, Al-Maktabah Al-Islamiyyah, cetakan ke dua (1409 H)

12. Tobaqootul Mudallisiin, Ibnu Hajar al-'Asqolaani, tahqiq : DR 'Isoom Al-Qoryuuthi, Maktabah Al-Manaar, cetakan pertama

13. Sunan Ad-Daaruquthni, Ali bin Umar Ad-Daaruquthni, tahqiq : Syu'aib Al-Arnauth, isyroof Abdul Muhsin At-Turki, Muassasah Ar-Risalah, cetakan pertama (1424 H-2004 M)

14. At-Tadliis fil hadiits, DR Musfir Ad-Dumaini, cetakan pertama (1412 H-1992 M)

15. Siyar A'laam An-Nubalaa, Ad-Dzahabi, tahqiq Syu'aib Al-Aranuuth, Muassasah Ar-Risaalah, cetakan kedua (1402 H-1982 M)

16. At-Tarjiih fi masaailis soum waz zakaat, Muhammad bin Umar Bazmuul, Daarul Hijroh, cetakan pertama (1415 H-1995 M)

Jumat, 11 Maret 2011

PERBEDAAN ANTARA NASEHAT DAN GHIBAH

Telah banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.



Imam Nawawi rahimahullah berkata.
“Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan beberapa perkara :
Dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.
Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya.
Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk memberi nasehat.
Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majelis ahli bid’ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid’ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad, dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan baik.
Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain.”[1]
Setelah beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau berkata, “Izinkanlah dia untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya.” [Muttafaq 'Alaih] [2]
Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, maka aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah, keduanya telah meminangku?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Adapun Mu’awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya.”
Dan dalam riwayat Muslim (lainnya), “Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita.”
Kalimat tersebut merupakan penjelasan dari riwayat “Ia tidak melepaskan tongkat dari bahunya.” Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian (safar).” [3]
Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus Shalihin: ”Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).
Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan diingatkan oleh para huffazh.”[4]
Syaikh Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:
“Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang beliau beri nama Raf’ur Raibah ‘ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah, dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran dalamnya.
Asy Syaukani berkata.
“Dan saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’, dan konteks yang terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa yang
Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah” [5]
Saya (Syaikh Salim) berkata pula:
“Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya:
[a]. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.
[b]. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas.
Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah “mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul”, dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari’at.”[6]
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:
“Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang membuat ia terjatuh.”[7]
FAEDAH
Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya, “Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah”, di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,
“Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma’ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, “Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya.”
Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!
Bukankah tujuan amar ma’ruf nahi munkar agar yang ma’ruf tersebar diantara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma’ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran.”[8]
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:
“Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid’ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak…”
Sampai beliau berkata:
“Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar.”[9]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam.
Pertama : Menyebutkan perbuatannya.
Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula …” [10]
Sampai beliau berkata:
“Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat.”[11]
“Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian.” [12]
“Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, “Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka,” dan ada lainnya mengatakan, “Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur,” dan orang lainnya berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita,” dan yang lainnya mengatakan, “Saya tidak akan makan daging.” Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku.”[13]
Sampai beliau berkata:
“(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.
Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana Hindun berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami),” maka beliau menjawab, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya.”[14] [Muttafaq alaih]
Sampai beliau berkata:
“Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, “Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya.” Maka beliau memberikan nasehat, “Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita” dan diriwayatkan “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya”, maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya – meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.
Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.
Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Dien itu nasehat, dien itu nasehat.” Mereka berkata, “Kepada siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya.”[15]
Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, “Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir,” lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.
Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, “Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa’ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata, ‘Jelaskan keadaannya’.” Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu.” Maka beliau berkata, “Apabila engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!”
Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid’ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, “Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber’itikaf ataukah orang yang membantah ahli bid’ah?” Maka beliau menjawab, “Apabila dia shalat, puasa dan i’tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama.” Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid’ah termasuk jihad di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari’atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid’ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda.
“Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian”[16]
Dan Allah berfirman dalam kitabNya.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” [Al-Hadid : 25]
Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.
“Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” [Al-Furqan: 31]
Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.
Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.
“Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka.” [At-Taubah :73]
Apabila orang-orang munafik berbuat bid’ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid’ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.
Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid’ah-bid’ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid’ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da’wah yang mengajak kepada bid’ah-bid’ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”[At Taubah : 47]
Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid’ah-bid’ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid’ah-bid’ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid’ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahwasanya bid’ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid [17] yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.
Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian dan doa serta yang lainnya.
Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.
Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu’min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta’ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.
Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.
Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda.
“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” [18]
Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]
Dan dusta adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.
“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”
Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul Musta’an.)
________
Foot Note
[1]. Riyadhus Shalihin, hal. 525-526
[2]. Ibid, no. 1539
[3]. Ibid, no. 1541
[4]. Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51
[5]. Ibid, Juz 3, hal. 35-36
[6]. Ibid, Juz 3, hal.35-36
[7]. Ibid, Juz 3, hal.46
[8] “Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama’Al-Islami” hal.58
[9]. Ar-Ruuh, hal 357-358
[10]. Majmu’Fatawa juz 28 hal.225
[11]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab (2563) dari Aisyah.”
[12]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab Al-I’tisham (7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati.”
[13]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah (5062) dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5).”
[14]. Majmu Fatawa, juz 28, hal 229
[15]. H.R.Muslim
[16]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Muslim dalam kitab Al-Birru was Shilah (2564/33-34) dan H.R.Ibnu Majah dalam kitab Az-Zuhd (4143).”
[17]. Dari ucapan Syaikhul Islam di atas agar menjadi cambuk bagi kita semua selaku penuntut ilmu untuk serius mempelajari ushul fiqh dan dan kaidah-kaidah yang sesuai dengan manhaj salaf agar kita dapat menimbang dan menilai ijtihad-ijtihad para ulama dalam masalah tertentu yang seringkali mereka berbeda pendapat di dalamnya, lalu kita berusaha mentarjihnya berdasarkan ilmu yang benar bukan berdasarkan hawa nafsu. Di antara buku-buku yang dinasehatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah kepada para penuntut ilmu untuk mempelajarinya berkenaan dengan masalah ushul fiqh dan kaidah-kaidah bagi dien yang mulia ini adalah :
1. I’lamul Muwaqi’in oleh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah
2. Irsyadul fuhul oleh Imam As-Syaukani rahimahullah
3. Tahshilul ma’mul oleh Syaikh Siddiq Hasan Khan rahimahullah
(Nasehat mengenai masalah ini dapat didengar dari kaset beliau yang berjudul “Tidak Berta’ashub”)
[18]. H.R. Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu Majah pada Al Ahkam (2315), kedua-duanya dari Buraidah. (Majmu’atul Fatawa, juz 14 hal. 399)
_______________________
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]
__________________________
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecualiapabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat.
Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.”
Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)
———–
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kejelekan Muawiyah dan Abu jahm, perhatikan! hal ini dmaksudkan demi kemaslahatan yang lebih besar pada diri fathimah binti qais radhiyallahu ‘anhum.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab:
1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.”
2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram.
3 Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”
4 Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya.
5 Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
6 Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah)
Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:
1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:
ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ
“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah.
2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين
“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari)
Laits bin Sa’ad salah seorang perawi hadits ini berkata: “Kedua orang ini termasuk kalangan orang munafiq.”
3. Hadits fathimah bintu qais diatas
4. Kami pernah berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempuh suatu perjalanan. Pada saat itu orang-orang mengalami kondisi yang menyulitkan, maka Abdullah bin Ubay berkata: “Janganlah kalian berinfak membantu orang-orang yang ada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai mereka mau bubar.” Dia juga mengatakan, “Seandainya kita pulang ke Madinah, maka orang-orang yang kuat akan mengusir yang lemah.” Maka aku pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kukabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian beliau pun mengutus orang untuk menanyakan hal itu kepada Abdullah bin Ubay. Maka dia justru berani bersumpah dengan serius kalau dia tidak pernah mengatakannya, maka mereka pun mengatakan, “Zaid telah berdusta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka supaya meminta beliau berdoa memintakan ampun bagi mereka akan tetapi mereka justru memalingkan kepala-kepala mereka. (Muttaafaq ‘alaih)