Rabu, 22 Juni 2011

Tipis Iman Faktor Utama Akhlaq Tercela


Akhlaq yang tampak pada diri seseorang merupakan refleksi zhohir dari batin orang tersebut. Artinya baik buruknya akhlaq yang terlihat maka seperti itulah jati diri batin orang tersebut.
 Islam telah menetapkan kaidah agung tentang hal ini, yaitu adanya korelasi yang kuat lagi erat antara akhlaq dan iman seseorang. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً.

“Seorang mu’min yang paling sempurna imannya adalah seorang mu’min yang paling bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi: 1082)
Hadits di atas menunjukkan bahwa akhlaq merupakan tolok ukur kadar keimanan seseorang. Apabila seseorang biasa berhias diri dengan akhlaq-akhlaq terpuji ini merupakan tanda yang zhohir atas kekuatan kadar keimanannya. Sebaliknya apabila seseorang terbiasa dengan akhlaq-akhlaq tercela ini merupakan tanda yang zhohir pula atas kelemahan atau bahkan tidak adanya iman pada dirinya.
Kita semua tidak memungkiri betapa sering kita menyaksikan kenyataan di sekitar kita perilaku-perilaku amoral. Sebagai contohnya adalah perilaku sebagian anak dalam kehidupan rumah tangga; kalau dahulu jarang dijumpai anak yang durhaka terhadap orang tuanya, namun sekarang kedurhakaan kepada orang tua telah dianggap biasa. Kalau dahulu usai sholat Maghrib di langgar (surau) atau masjid, anak-anak kembali ke rumahnya untuk ngaji al-Qur’an atau ke rumah guru ngajinya. Namun sekarang realitanya beda, usai sholat Maghrib anak duduk di depan layar TV untuk ‘ngaji’ akhlaq darinya, bahkan pada hampir seluruh waktunya mereka habiskan untuk menyerap “materi akhlaq” darinya.
Dahulu, jika terdengar ucapan kotor yang terucap dari lisan sang anak, dengan serta-merta orang tua menegur bahkan memarahinya, namun sekarang tidaklah demikian, kecuali sebagian orang tua yang dirohmati oleh Alloh. Walhasil, masih ada setumpuk contoh perilaku amoral lainnya yang disaksikan di zaman ini, dan hanya kepada Alloh kita mengadukan musibah yang menimpa umat ini.
Diakui atau tidak semua yang anak-anak lakukan sangat terkait dengan ada dan tiadanya didikan dan arahan orang tuanya. Sebab peran orang tua sangat dominan dalam menjadikan akhlaq anak-anak menjadi terpuji maupun tercela. Ambil contohnya tatkala rasa tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan akhlaq anak mengalami erosi atau bahkan tidak dipedulikan, juga tatkala pendidikan anak lebih dipercayakan kepada orang lain; baik guru di sekolah, atau guru ngaji atau yang lainnya. Atau tatkala pengetahuan agama orang tua sangat minim, sebagai akibatnya mereka kurang perhatian terhadap pendidikan agama anak-anaknya. Atau tatkala orientasi pendidikan orang tua terhadap anak yang cenderung kepada pendidikan dan pelajaran ilmu-ilmu umum saja. Semua ini ternyata berakibat kemerosotan moral dan akhlaq anak-anak baik di desa-desa terlebih lagi di perkotaan.
Bila kita telusuri sebab dan faktor utama adanya dekadensi moral ini maka akan didapati sebuah konsep bahwa antara akhlaq dan keimanan memiliki korelasi yang kuat lagi erat.Tidaklah muncul perkataan maupun perbuatan amoral yang sangat memprihatinkan melainkan sebab utamanya adalah makin sirnanya nilai-nilai dan prinsip-prinsip pokok keimanan pada hati seseorang. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan dalam sabda beliau di atas.
Akhlaq tercela baik pada anak-anak maupun orang tua termasuk pemicu utama timbulnya prahara rumah tangga. Kerap kali kita menjumpai broken home yang ternyata pemicu utamanya adalah akhlaq tercela dari anggota keluarga itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan kebutuhan umat umumnya, dan sebuah keluarga khususnya terhadap perbaikan kualitas dan kuantitas iman saat sekarang adalah sangat mendesak. Yaitu harus ada usaha mengembalikan umat ini juga keluarga kaum muslimin kepada ajaran keimanan dan mendidik mereka di atasnya. Sebab dengan keimanan yang mengurat dan mengakar dalam dada akan lahirlah sosok-sosok umat yang jauh dari segala tindak tanduk amoralWallohul-Muwaffiq.


Sumber: http://alghoyami.wordpress.com/2011/04/30/tipis-iman-faktor-utama-akhlaq-tercela/#more-460

Senin, 13 Juni 2011

Jika Nasehat Anda Ingin Didengar …



Anda ingin nasehat yang anda sampaikan didengar dan disimak? Tidak ada salahnya jika anda meluangkan waktu untuk membaca artikel berikut.

Islam Terbangun Di Atas Nasehat
Agama ini memerintahkan pemeluknya untuk menggalakkan budaya nasehat. Nasehat akan memperbaiki kepribadian seorang yang dahulunya buruk. Nasehat pulalah yang mampu menciptakan persaudaraan yang sejati. Namun, kesemuanya itu barulah dapat terwujud apabila nasehat yang disampaikan dapat membekas dan meresap di dalam jiwa.
Allah ta’ala memerintahkan nabi untuk memberikan nasehat yang dapat mempengaruhi jiwa para pendengarnya,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا (٦٣)
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka wejangan/nasehat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An Nisaa: 63).
Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, maksudnya adalah dalam tujuan nasehat diketahui dan membekas di dalam jiwa mereka (Fathul Qadir 1/729; Asy Syamilah).
Nasehat yang Sukses
Sukses dalam memberikan nasehat haruslah memperhatikan beberapa kriteria berikut:
Topik yang sesuai
Nasehat haruslah disampaikan dengan memperhatikan topik yang dibutuhkan oleh para pendengar. Jangan sampai anda memberikan nasehat dengan topik yang tidak mereka butuhkan.
Sebagai permisalan, apabila anda melihat mayoritas manusia lebih memprioritaskan kehidupan dunia daripada mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat, maka topic yang seharusnya disampaikan adalah menghasung mereka untuk cinta kepada akhirat dan berlaku zuhud (tidak tamak) terhadap dunia.
Namun, jika seorang menasehati mereka untuk tidak berlebih-lebihan dalam beribadah, sementara mereka belum mampu untuk melaksanakan berbagai ajaran agama yang sifatnya wajib, maka topik nasehat yang disampaikan pada saat itu tidaklah tepat, karena unsur hikmah dalam memilih topik kurang diperhatikan.
Bahasa yang fasih dan runut
Kefasihan sangat dituntut dalam nasehat yang hendak disampaikan. Sahabat pernah mengatakan,
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا بَعْدَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ ….
“Selepas shalat Subuh, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasehat yang sangat menyentuh, hati kami bergetar dan air mata pun berlinang.” (HR. Tirmidzi: 2676. Diabsahkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashabih: 165).
Maka seorang pemberi nasehat hendaknya menyampaikan nasehat dengan lafadz yang terbaik, yang paling mampu menyentuh jiwa para pendengar, sehingga merekapun tertarik untuk mendengarnya.
Waktu dan kondisi yang tepat
Waktu yang tepat juga turut berpengaruh. Seorang pemberi nasehat hendaknya memilih momen yang tepat untuk menyampaikan nasehatnya.
Pada hadits yang lalu, dapat kita perhatikan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wejangan kepada para sahabatnya di waktu Subuh. Pada waktu tersebut, tubuh sedang berada dalam kondisi puncak, setelah di waktu malam beristirahat. Demikian pula, pada waktu tersebut, pikiran masih jernih, belum terbebani.
Maka seorang pemberi nasehat harus mampu memperhatikan kondisi orang yang hendak dinasehati, apakah pada saat itu dia siap menerima nasehat ataukah tidak.
Jangan bertele-tele
Nasehat juga janganlah bertele-tele dan panjang sehingga membosankan. Abu Wa-il pernah mengatakan, “Ammarradhiallahu ‘anhu pernah menyampaikan khutbah kepada kami secara ringkas namun mengena. Ketika selesai, maka kami mengatakan kepada beliau, “Alangkah baiknya jika anda memperpanjang khutbah” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya saya pernah mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat seorang dan pendeknya khutbay yang disampaikan olehnya merupakan tanda akan kefakihan dirinya” Maka hendaklah kalian memperpanjang shalat dan memperpendak khutbah.” (HR. Muslim: 869).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan kepada uamtnya untuk tidak bertele-tele dan berlama-lama dalam menyampaikan nasehat karena hal itu akan menyebabkan pendengar bosan.
Karakter Sang Pemberi Nasehat
Materi yang bagus memang turut berpengaruh terhadap suksesnya nasehat, namun sang pemberi nasehat pun harus menghiasi dirinya dengan beberapa hal berikut:
Yakin akan apa yang diucapkan
Pemberi nasehat merupakan orang yang pertama kali harus meyakini akan apa yang akan diucapkan dalam nasehatnya, dialah yang pertama kali harus terpengaruh terhadap nasehat yang hendak disampaikan.
Ammar bin Dzar rahimahullah pernah ditanya oleh anaknya, “Mengapa tatkala orang lain berbicara, tidak ada satupun yang menangis. Namun, ketika engkau berbicara, wahai ayahku, kami mendengar tangisan dimana-mana?” Maka Ammar menjawab, “Wahai anakku, nasehat yang tulus tidaklah sama dengan nasehat yang direkayasa.” (Hilyatul Auliya 5/111; Ihya Ulumiddin 4/187; Asy Syamilah).
Anda dapat memperhatikan apabila nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasehat kepada para sahabat. Beliau menyampaikan nasehat dengan serius, dengan suara yang tinggi sedang mata beliau memerah, seakan-akan saat itu beliau sedang mengomandoi pasukan. Ini menunjukkan keyakinan beliau akan kandungan yang terdapat dalam nasehat beliau.
Oleh karena itu, sahabat Irbadh radhiallahu ‘anhu pun menggambarkan bahwa nasehat beliau merupakan nasehat yang menggetarkan jiwa dan mampu membuat air mata ini berlinang.
Hati yang Bebas Penyakit
Tulusnya nasehat merupakan buah dari hati yang bersih dari penyakit. Seorang yang memiliki hati yang berpenyakit, maka dapat dipastikan bahwa nasehat yang disampaikannya tidaklah mampu menghunjam dalam hati pendengarnya. Tengok kembali perkataan Ammar bin Dzar rahimahullah di atas! Apabila hati yang dipenuhi penyakit ini diiringi dengan akhak yang buruk, maka nasehat yang diucapkan pun tentu hanya dianggap sebagai angin lalu.
Teladan yang Baik
Seorang pemberi nasehat haruslah menjadi qudwah (teladan) dalam perkataan dan perbuatan, karena orang yang mendengar nasehatnya mesti akan memperhatikan gerak-geriknya. Jika ternyata orang yang senantiasa memberikan nasehat kepada mereka justru melanggar wejangan yang diberikan, maka mereka akan meremehkannya dan akan berpaling, tidak menghiraukan dirinya dan nasehatnya lagi. Betapa banyak kita menjumpai da’i-’da’i yang tidak mampu mendorong dirinya untuk menjadi teladan yang baik bagi para mad’u (objek dakwah)-nya.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Sumber Artikel www.muslim.or.id