Jumat, 24 Desember 2010

Pelajaran yang Tak Terlupakan

UMMU MAHJAN

Wahai ibuku… Wahai saudariku… Janganlah anda meremehkan amal kebaikan sekalipun kecil, dan ketahuilah bahwa anda diseru untuk menunaikan tanggung jawab anda dengan mencurahkan segenap kemampuan dan banyak berkorban dalam rangka menegakkan bangunan Islam yang agung. Janganlah sekali-kali anda mengelak dari tugas anda sekalipun hanya sedetik karena tipu daya musuh Islam terhadapmu. Mereka musuh-musuh Islam ingin sekiranya engkau menyimpang dari tugasmu yang mulia, dan mereka berupaya menjatuhkan semangatmu dalam berhidmat kepada Islam dan membina umat.
Janganlah… dan sekali lagi janganlah anda mengelak dan mundur dari berkhidmat kepada Islam karena anda merasa lemah, tidak ada kemampuan untuk ikut andil dalam menguatkan masyarakat Islam, sebab sesungguhnya perasaan-perasaan seperti itu merupakan rekayasa dari setan jin dan manusia.
Maka di sini kami hendak menyuguhkan sebuah kisah seorang wanita yang lemah dan berkulit hitam. Kisah ini merupakan sebuah pelajaran bagi kaum muslimin dalam hal kesungguhan, ketawadhu’an hingga sampai pada puncak semangatnya.
Beliau seorang wanita yang berkulit hitam, dipanggil dengan nama Ummu Mahjan. Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih tanpa menyebutkan nama aslinya, bahwa beliau tinggal di Madinah.[1]
Beliau Radhiyallahu ‘anha seorang wanita miskin yang memiliki tubuh yang lemah. Untuk itu beliau tidak luput dari perhatian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sang pemimpin, sebab beliau senantiasa mengunjungi orang-orang miskin dan menanyai keadaan mereka dan memberi makanan kepada mereka, maka tidakkah anda tahu akan hal ini wahai para pemimpin rakyat?
Beliau Radhiyallahu ‘anha menyadari bahwa dirinya memiliki kewajiban terhadap akidahnya dan masyarakat Islam. Lantas apa yang bisa dia laksanakan padahal beliau adalah seorang wanita yang tua dan lemah? Akan tetapi beliau sedikitpun tidak bimbang dan ragu, dan tidak menyisakan sedikitpun rasa putus asa dalam hatinya. Dan putus asa adalah jalan yang tidak dikenal di hati orang-orang yang beriman.
Begitulah, keimanan beliau telah menunjukkan kepadanya untuk menunaikan tanggung jawabnya. Maka beliau senantiasa membersihkan kotoran dan dedaunan dari masjid dengan menyapu dan membuangnya ke tempat sampah. Beliau senantiasa menjaga kebersihan rumah Allah, sebab masjid memiliki peran yang sangat urgen di dalam Islam. Di sanalah berkumpulnya para pahlawan dan para ulama’. Masjid, ibarat parlemen yang sebanyak lima kali sehari digunakan sebagai wahana untuk bermusyawarah, saling memahami dan saling mencintai, sebagaimana pula masjid adalah universitas tarbiyah amaliyah yang mendasar dalam membina umat.
Begitulah fungsi masjid pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pulalah yang terjadi pada zaman khulafa‘ur rasyidin dan begitu pula seharusnya peranan masjid hari ini hingga tegaknya hari kiamat.
Untuk itulah Ummu Mahjan Radhiyallahu ‘anha tidak kendor semangatnya, sebab pekerjaan itu merupakan target yang dapat beliau kerjakan. Beliau tidak pernah meremehkan pentingnya membersihkan kotoran untuk membuat suasana yang nyaman bagi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dalam bermusyawarah yang senantiasa mereka kerjakan secara rutin.
Ummu Mahjan Radhiyallahu ‘anha terus menerus menekuni pekerjaan tersebut hingga beliau wafat pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ia wafat, para shahabat Ridhwanullahi ‘Alaihim membawa jenazahnya setelah malam menjelang dan mereka mendapati RasulullahShalallahu ‘alaihi wa sallam masih tertidur. Mereka pun tidak ingin membangunkan beliau, sehingga mereka langsung menshalatkan dan menguburkannya di Baqi‘ul Gharqad.
Pagi harinya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan wanita itu, kemudian beliau tanyakan kepada para sahabat, mereka menjawab, “Beliau telah dikubur wahai Rasulullah, kami telah mendatangi anda dan kami dapatkan anda masih dalam keadaan tidur sehingga kami tidak ingin membangunkan anda.” Maka beliau bersabda, “Marilah kita pergi!” Lantas bersama para shahabat, Rasulullah pergi menuju kubur Ummu Mahjan. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara para sahabat berdiri bershaf-shaf di belakang beliau, lantas RasulullahShalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya dan bertakbir empat kali.[2]
Sebuah riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang wanita yang berkulit hitam yang biasanya membersihkan masjid, suatu ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallammerasa kehilangan dia, lantas beliau bertanya tentangnya. Mereka telah berkata, “Dia telah wafat.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” Abu Hurairah berkata, “Seolah-olah mereka menganggap bahwa kematian Ummu Mahjan itu adalah hal yang sepele.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya!” Maka mereka menunjukkan kuburnya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menyalatkannya, lalu bersabda:

إِنَّ هٰذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةٌ عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللّٰهَ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِي عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya kubur ini terisi dengan kegelapan atas penghuninya dan Allah meneranginya bagi mereka karena aku telah menyalatkannya.”[3]
Semoga Allah merahmati Ummu Mahjan Radhiyallahu ‘anha yang sekalipun beliau seorang yang miskin dan lemah, akan tetapi beliau turut berperan sesuai dengan kemampuannya. Beliau adalah pelajaran bagi kaum muslimin dalam perputaran sejarah bahwa tidak boleh menganggap sepele suatu amal sekalipun kecil.
Oleh karena itu ia mendapatkan perhatian dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga ia wafat. Sehingga beliau menyalahkan para shahabat beliau Ridhwanullahi ‘Alaihim yang tidak memberitahukan kepada beliau perihal kematiannya agar beliau dapat mengantarkan Ummu Mahjan ke tempat tinggalnya yang terakhir di dunia. Bahkan tidak cukup hanya demikian namun beliau bersegera menuju kuburnya untuk menshalatkannya agar Allah menerangi kuburnya dengan shalat beliau.

[1].        Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIII/414).
[2].        Lihat al-Ishabah dalam Tamyizish Shahabah (VIII/187).
[3].        Lihat al-Ishabah (VIII/187), al-Muwatha’ (I/227), an-Nasa’i (I/9) hadits tersebut mursal, akan tetapi maknanya sesuai dengan hadits yang setelahnya yang bersambung dengan riwayat al-Bukhari dan Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar